Mustikatimes.com– Presiden AS Donald Trump kembali bikin heboh! Setelah larangan kontroversial di masa jabatan pertamanya, kini ia menerapkan aturan baru yang untuk pertama kalinya mencakup negara-negara di Asia Tenggara.
Pakar politik AS Steven R. Okun mengatakan kebijakan ini berpotensi merugikan kepentingan geopolitik AS, lho. Kali ini, Trump melarang atau membatasi warga dari 19 negara termasuk Myanmar dan Laos masuk ke AS mulai Senin (9 Juni).
Tapi bedanya, Trump bilang ini bukan “larangan Muslim” lagi. Ia berdalih larangan ini demi keamanan nasional dan karena banyak warga dari negara-negara tersebut sering overstay visa mereka. Kelihatannya, pengadilan akan sulit membatalkan larangan ini karena prosesnya sudah ia siapkan matang.
“Pengalihan Perhatian” yang Pas di Tengah Isu Panas AS
Larangan ini muncul di tengah kabar kurang sedap buat Trump: pertumbuhan lapangan kerja AS paling rendah dalam dua tahun, perseteruan sengit dengan Elon Musk soal RUU Besar yang Indah, dan serangan antisemit.
“Larangan ini jadi ‘pengalihan perhatian’ yang pas dari banyaknya berita buruk dan kemunduran agenda Trump,” kata Thurgood Marshall Jr., mantan pejabat senior di era Clinton.
Trump mengklaim larangan ini dipicu “serangan teroris” di Colorado minggu lalu. Tapi anehnya, Mesir negara asal pelaku justru tidak ada di daftar. Ini membuat banyak orang bertanya-tanya soal alasan sebenarnya.
Jelas, larangan ini membuat basis pendukung anti-imigrasi Trump (MAGA) makin senang. Filosofi “America First” yang keras soal imigrasi memang jadi andalannya.
Sebelumnya, Trump juga sudah melarang mahasiswa internasional dari Harvard, menghentikan wawancara visa pelajar, dan memerintahkan razia imigrasi besar-besaran.
Tentu saja, setiap negara berhak menjaga perbatasannya. Tapi, larangan menyeluruh tanpa pandang bulu ini, meski mudah secara administratif, berpotensi merusak hubungan geopolitik AS.
Asia Tenggara Jadi Sasaran, Apa Kata Mereka?
Yang menarik, Laos dan Myanmar yang sebelumnya jarang jadi sorotan, kini masuk daftar. Padahal, menurut Departemen Perdagangan AS, hanya sekitar 11.000 dari 72 juta pengunjung asing di 2024 berasal dari kedua negara ini.
Rick Reece, Direktur Eksekutif Village Focus International yang sudah lama tinggal di Laos, mengatakan, “Banyak ikatan keluarga (dengan AS) di sini.
Sekarang, kemarahan dan sinisme justru muncul.” Ia bahkan khawatir putranya yang pemegang paspor Laos tidak bisa berkunjung ke AS dalam waktu dekat.
Tatum Albertine, mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS yang punya banyak pengalaman di Myanmar, terkejut melihat Myanmar masuk daftar.
“Saya rasa Pemerintahan Trump bahkan tidak tahu apa yang diinginkannya dari hubungan dengan mereka,” katanya. Setelah gempa mematikan Maret lalu, AS sendiri mengalami pukulan reputasi di negara tersebut karena kurangnya bantuan kemanusiaan.
Trump juga mempengaruhi negara Asia Tenggara lain seperti Singapura dengan aturan visa pelajar yang ia perketat, serta menghentikan wawancara visa sambil menunggu “pemeriksaan dan verifikasi media sosial” yang lebih ketat.
Banyak siswa yang sudah diterima di universitas AS jadi tidak jelas kapan mereka bisa berangkat, atau bahkan jika mereka bisa kembali setelah liburan.
Di tengah persaingan sengit AS dan China di kawasan ini, larangan terhadap dua anggota ASEAN dan masalah visa pelajar ini bisa menjadi ‘hadiah’ bagi China.
“America First” Berujung “China Next”?
Meskipun larangan ini mungkin tidak langsung berdampak besar secara geopolitik atau ekonomi karena posisi kedua negara yang kecil, konsekuensinya tetap ada.
Kebijakan imigrasi Trump yang lebih luas membuat orang-orang ragu untuk bepergian ke AS, apalagi ditambah tarif besar-besaran.
Seorang petinggi perusahaan multinasional Amerika bahkan sampai tidak bisa mengadakan rapat timnya di AS karena banyak staf internasionalnya takut datang.
New York City memperkirakan kehilangan 2,5 juta turis asing pada tahun 2025. Dari Kanada, yang merupakan sumber turis utama AS, kunjungan diprediksi akan turun lebih dari 20 persen.
World Travel & Tourism Council bahkan memproyeksikan kerugian US$12,5 miliar dalam pengeluaran turis internasional tahun ini.
Nelson Cunningham, mantan Penasihat Senior di Departemen Luar Negeri AS, mewanti-wanti, “Jika kita memutus kontak dengan orang-orang terbaik dan terpintar di seluruh dunia, ‘America First’ bisa berubah jadi ‘America Alone’.” Ia menyimpulkan, “‘America First’ pasti akan mengarah pada ‘China Next’.”
Dengan larangan perjalanan baru ini, banyak negara mungkin akan mencari pasar dan mitra alternatif untuk perdagangan dan keamanan. Bisnis pun bisa rugi karena akses ke pejabat pemerintah asing, pelanggan, dan karyawan jadi terbatas.
Singkatnya, citra dan brand Amerika terus tergerus.
Steven Okun adalah CEO APAC Advisors, konsultan investasi geostrategis dan bertanggung jawab yang berbasis di Singapura.
Ia pernah menjabat sebagai Wakil Penasihat Umum di Departemen Transportasi AS pada masa pemerintahan Presiden Bill Clinton. Noemie Viterale, Associate APAC Advisors, turut berkontribusi dalam artikel ini.