Papua Barat, mustikatimes.com– Masyarakat adat di Teluk Wondama, Papua, memiliki cara unik mengelola laut mereka: sawora atau kadup. Istilah lokal untuk sasi ini menjadi kunci menjaga sumber daya laut agar tetap lestari.
Dulu, laut Wondama begitu kaya. Siti Mnuari, seorang warga Kampung Sombokoro, teringat bagaimana ikan oci atau selar kuning melimpah di tahun 1980-an.
“Ikan-ikan berhamburan hingga ke pantai, menghindari pemburu. Kami tinggal mengambilnya dengan ember atau baskom,” kenangnya.
Namun, sejak 1990-an, populasi ikan terus menurun. Di Kampung Sombokoro dan Kampung Aisandami, ikan oci nyaris hilang. Octovianus Bosayor, tokoh adat Aisandami, menyebut ikan lokalnya, inggur, semakin sulit ditemukan.
Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat, Ali Baham Temongmere, menyadari masalah ini. Ia menjelaskan bahwa kebutuhan masyarakat yang meningkat sering kali mendorong penggunaan cara-cara penangkapan ikan yang merusak.
Ia memberi contoh kisah di Pantai Bakaro, Manokwari, di mana tradisi memanggil ikan dengan peluit musnah karena ledakan bom ikan.
“Si pemanggil ikan itu berkata, ‘itu gara-gara orang mencari ikan pakai bahan peledak, sehingga ikan mati dan tidak pernah kembali lagi’,” tuturnya.
Sawora dan Kadup: Kearifan Lokal Melindungi Laut
Melihat kerusakan ini, masyarakat adat Teluk Wondama menghidupkan kembali sawora dan kadup. Tradisi ini menutup area perairan dari aktivitas penangkapan dalam jangka waktu tertentu. Dengan begitu, ekosistem laut bisa pulih.
Korneles Mnuari, tokoh adat Sombokoro, menjelaskan bahwa sasi berasal dari Maluku. Di Papua, istilahnya berbeda.
Masyarakat Sombokoro menyebutnya sawora.Di Aisandami dan Menarbu, mereka menggunakan istilah kadup yang berarti ‘merintangi’ atau menutup.
Feronika Manohas, Koordinator WWF Indonesia Program Papua, menjelaskan bahwa sawora dan kadup juga berlaku di daratan.
“Di Sombokoro, mereka menyebutnya pele. Masyarakat memasang kain merah sebagai tanda larangan untuk mengambil hasil hutan, seperti pinang atau kelapa,” ujarnya.
Praktik ini sejalan dengan Undang-Undang Perikanan. Pasal 6 ayat (2) menyatakan, pengelolaan perikanan harus mempertimbangkan hukum adat.
Masyarakat Menarbu, misalnya, menetapkan kadup selama dua hingga tiga tahun. Mereka melakukannya bersama pemerintah kampung, gereja, dan tokoh adat.
“Mereka memanfaatkan hasilnya secara bertanggung jawab,” kata Rusthesa Latritrani, staf Taman Nasional Wilayah III Aisandami.
Nilai Adat sebagai Penjaga Lingkungan
Kepatuhan masyarakat pada sawora dan kadup sangat kuat. Dr. Hugo Warami, dosen Universitas Negeri Papua, menyebut hal ini karena nilai-nilai adat. Ia menjelaskan, masyarakat Teluk Wondama memiliki kesamaan pandangan dan kepatuhan.
Ada juga totemisme, di mana setiap marga menghormati flora dan fauna tertentu. “Klan tertentu pantang makan ikan duyung atau pari. Ini menjadi bagian dari pandangan ideologis mereka,” kata Dr. Warami.
Selain itu, ada area laut yang dianggap sakral atau faknik. Lokasi ini sering menjadi tempat bertelur ikan. “Warga tidak berani mencari ikan di area faknik. Bahkan berbicara keras pun mereka hindari,” jelas Octovianus Bosayor.
Hasil Nyata dan Harapan Masa Depan
Sawora dan kadup memberi manfaat besar. Ismail Mnuari, Kepala Kampung Sombokoro, menceritakan, ikan cakalang dan tenggiri kini sering terlihat di Teluk Duairi. Kadang, lumba-lumba pun bermain di sana.
Ketika sawora dibuka, warga bisa memanen hasil laut yang melimpah. Manfaatnya tidak hanya untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi juga biaya sekolah anak.
Sawora dan kadup bukan sekadar konservasi. Ini adalah cara masyarakat adat Teluk Wondama melestarikan budaya dan menjaga alam mereka secara bersamaan.