mustikatimes.com – Program “Sekolah Rakyat”, sebuah inisiatif pemerintah Indonesia, dirancang sebagai upaya memutus rantai kemiskinan melalui jalur pendidikan. Sekolah ini berkonsep asrama penuh dan menyediakan seluruh kebutuhan siswa secara gratis, mulai dari biaya pendidikan, seragam, hingga akomodasi. Namun, implementasinya menuai berbagai kritik dari sejumlah pihak.
Konsep dan Pelaksanaan Sekolah Rakyat.
Sekolah Rakyat menerapkan sistem pembelajaran multi-entry dan multi-exit, memungkinkan fleksibilitas bagi siswa untuk masuk dan menyelesaikan pendidikan sesuai kecepatan belajar masing-masing.
Kurikulum yang diterapkan tidak hanya berfokus pada mata pelajaran akademis, tetapi juga menekankan penguatan karakter seperti kepemimpinan, nasionalisme, dan keterampilan hidup.
Keterlibatan TNI dan Polri dalam pembekalan disiplin, empati, toleransi, dan wawasan kebangsaan menjadi ciri khas program ini. Selain itu, Learning Management System (LMS) berbasis web digunakan untuk pengelolaan pembelajaran. Lulusan Sekolah Rakyat akan mendapatkan ijazah yang setara dengan sekolah negeri maupun swasta.
Untuk mendukung program ini, pemerintah merekrut sekitar 60.000 guru secara nasional, termasuk relawan pendidikan, yang wajib mengikuti pembekalan khusus.
Cakupan dan Anggaran Saat ini, terdapat 63 lokasi Sekolah Rakyat jenjang SD, SMP, dan SMA yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia. Program ini mencakup 256 rombongan belajar dengan total siswa mencapai 75 untuk SD, 2.800 untuk SMP, dan 3.250 untuk SMA.
Program Sekolah Rakyat secara khusus diperuntukkan bagi anak-anak dari keluarga miskin dan sangat miskin, dengan seleksi berdasarkan data terpadu sosial ekonomi nasional (DTKS).
Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar 1,19 triliun rupiah untuk inisiatif ini, sejalan dengan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2025 tentang optimalisasi pengentasan kemiskinan dan penghapusan kemiskinan ekstrem.
Gelombang Kritik dan Pertanyaan di Balik Program
Meskipun bertujuan mulia, kebijakan Sekolah Rakyat tidak lepas dari sorotan dan kritik. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai program ini terburu-buru dan minim kajian matang, mengingat persiapannya hanya sekitar 3 bulan setelah Instruksi Presiden diterbitkan. FSGI berpendapat bahwa penguatan sekolah reguler seharusnya menjadi prioritas utama ketimbang menciptakan program baru.
Kekhawatiran lain muncul terkait potensi program ini mengembalikan model pendidikan yang memisahkan status ekonomi dan sosial, mirip era kolonial. Ada pula kekhawatiran bahwa program ini dapat memunculkan stigma negatif bagi anak-anak dari keluarga miskin.
Pertanyaan besar yang mengemuka adalah apakah Sekolah Rakyat merupakan solusi jangka panjang yang efektif atau hanya sekadar upaya “tambal sulam” atas kegagalan negara dalam meratakan akses pendidikan berkualitas.