Beranda » Mustika » Skolah Gratis, Angin Segar atau Ancaman Sekolah Swasta?

Skolah Gratis, Angin Segar atau Ancaman Sekolah Swasta?

Jakarta, mustikatimes.com– Putusan Mahkamah KonPutusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 tentang sekolah gratis kini tengah menjadi sorotan publik. (16/6/25).stitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 tentang sekolah gratis kini tengah menjadi sorotan publik. (16/6/25).

Keputusan ini mewajibkan Pemerintah Pusat dan daerah menggratiskan pendidikan dasar (SD dan SMP), tidak hanya di sekolah negeri tetapi juga di sekolah swasta.

Sebelumnya, wajib belajar 9 tahun gratis hanya berlaku di sekolah negeri. Namun, putusan MK ini memperluas cakupan implementasinya, menghadirkan harapan baru bagi banyak keluarga di Indonesia.

Pendidikan Gratis di Sekolah Swasta: Harapan Baru bagi Orang Tua

Sekilas, putusan ini memang membawa angin segar. Tujuan negara “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” kini tidak lagi terbatas pada sekolah negeri.

Banyak orang tua memilih sekolah swasta karena keterbatasan daya tampung sekolah negeri, persebaran yang tidak merata, persaingan sengit, atau bahkan anggapan kualitas sekolah negeri tidak lebih baik dari sekolah swasta elit.

Muhammad Hadiid Al-Yasa Kecam Keras Ucapan PLH Disdikbud Banten

Namun, seringkali biaya menjadi beban berat bagi orang tua yang menyekolahkan anak di swasta. Mereka menanggung beban materiil hanya demi memenuhi hak mendapatkan jaminan akses pendidikan dasar.

Jika kita sepakat bahwa ini adalah hak, bukankah seharusnya akses di sekolah negeri dan swasta sama rata? Biaya pendidikan swasta memang sangat bervariasi, tergantung kondisi dan tingkatan sekolah.

Sekolah Swasta Khawatirkan Dampak Kebijakan Pendidikan Gratis

Bagi sekolah swasta, kekhawatiran menjadi hal wajar. Banyak di antara mereka terkenal bonafit dengan beragam keunggulan.

Selain nama besar, kualitas layanan dan fasilitas belajar merupakan nilai jual yang menarik banyak masyarakat.

Dengan keunggulan ini, selama ini sekolah swasta bebas menentukan biaya masuk bagi siswa. Semakin bonafit dan lengkap fasilitasnya, jelas semakin mahal pula biayanya.

Raja Ampat: Antara Konservasi atau Tambang Nikel? Mari Kita Urai!

Kita sering mendengar istilah “Sekolah Elit” atau “Sekolah Unggulan” untuk menggambarkannya.

Dengan kewajiban menggratiskan sekolah, swasta tentu akan kehilangan kebebasan menentukan biaya pendidikannya.

Biaya administrasi bulanan, iuran wajib tahunan, atau biaya kurikulum dan buku yang biasanya menjadi pemasukan utama swasta dalam mengelola pendidikan, tidak boleh langsung membebani siswa.

Sekolah swasta kini harus merekonstruksi biaya operasional pembelajaran mereka. Ini tentu menambah beban aktivitas dan membutuhkan sumber daya baru.

Nantinya, mereka akan menghitung ulang biaya tergantung pada model pembiayaan yang negara gelontorkan di setiap satuan pendidikan, yang pasti memiliki batas-batas tertentu.

Spam Komentar Judi Online Bikin Resah YouTube Indonesia!

Selain itu, jika suatu sekolah belum masuk kategori penampung siswa yang dibiayai negara, mereka berpotensi kehilangan calon siswa.

Logika keluarga dalam memilih sekolah akan berubah, dari “Menyekolahkan di Sekolah ini karena bagus” menjadi “Menyekolahkan di tempat yang gratis saja”.

Muhammadiyah Tolak Penggratisan Sekolah Swasta Tanpa Pertimbangan Matang

Sebagai organisasi yang bergerak di bidang sosial, agama, kesehatan, dan pendidikan, Muhammadiyah juga mengelola banyak amal usaha pendidikan. Mereka merespons putusan MK ini.

Ketua Umum Pimpinan Pusat (Ketum PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir, menegaskan bahwa pelaksanaan putusan MK ini tidak boleh mematikan pihak swasta.

Dengan banyaknya amal usaha pendidikan Muhammadiyah yang tersebar di seluruh wilayah, penggratisan sekolah swasta tanpa pertimbangan seksama dan kecermatan melihat realitas dunia pendidikan Indonesia bisa berpotensi mematikan pendidikan swasta.

Mengingat peran strategis sekolah swasta, putusan MK ini tentu berdampak langsung pada pertumbuhan pendidikan nasional.

Muhammadiyah, sebagai organisasi kemasyarakatan, fokus mengembangkan pendidikan jauh dari kepentingan bisnis.

Haedar menjelaskan, sekolah dasar swasta harus tetap terkoneksi dengan tanggung jawab pendidikan sekolah negeri dalam hal keleluasaan menjalankan tugas pendidikan.

Menurut Haedar, lembaga pendidikan negeri yang berbadan hukum dan berwenang mengembangkan bisnis di dunia pendidikan justru perlu kita sorot.

Tantangan Besar: Beban Anggaran Negara dan Implementasi Pendidikan Gratis

Negara akan menanggung seluruh biaya pendidikan dasar dan menengah pertama. Ini berpotensi memperbesar beban belanja negara bidang pendidikan.

Selama ini, pembiayaan yang mengalir ke sekolah negeri, baik berupa bantuan operasional, tunjangan guru, maupun pembangunan infrastruktur, sebenarnya belum optimal. Angka persentase 20% APBN untuk pendidikan selama ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan.

Selain bukan semata soal angka, masalah kompleks seringkali terletak pada mekanisme penyaluran atau kompetensi sumber daya manusianya.

Pembiayaan yang semakin besar ini tentu menciptakan tantangan dan celah dalam implementasinya.

Memastikan penyaluran anggaran pendidikan benar-benar sampai tepat sasaran adalah pekerjaan besar yang memerlukan kejujuran, dedikasi, dan keikhlasan tinggi.

Meskipun penerapannya akan berlangsung bertahap, objektivitas realitas pendidikan harus menjadi pedoman utama, bukan sekadar pembiayaan.

Jika implementasi ini tidak berjalan baik, dengan membiarkan kebutuhan sekolah negeri yang selama ini belum terpenuhi, disparitas pendidikan dan pemerataan akses pendidikan hanya akan menjadi angan-angan kosong.

Model Pembiayaan dan Risiko Administratif bagi Sekolah

Jika negara mengatur mekanisme teknis seperti uji kelayakan sekolah swasta agar bisa menampung siswa yang dibiayai negara, baik negara maupun sekolah swasta harus mengeluarkan energi lebih untuk persiapan.

Pondasi implementasinya juga perlu detail, serta memerlukan aturan teknis yang menjamin pelaksanaannya tidak menimbulkan celah pemanfaatan oleh segelintir pihak.

Kita perlu menerima kenyataan pahit; jangankan urusan pendidikan yang cenderung menjadi kepentingan duniawi, urusan agama yang lekat dengan akhirat saja masih sering oknum pejabat negara manfaatkan demi pragmatisme.

Model pembiayaan oleh negara juga perlu jelas dan transparan. Apakah melalui gelontoran langsung bantuan operasional ke sekolah atau model penagihan/klaim biaya pendidikan dari sekolah ke negara dengan laporan periode tertentu?

Risiko yang menghantui, apalagi jika menggunakan model klaim biaya pendidikan, adalah pemenuhan prasyarat dan pengajuannya tentu menjadi pekerjaan tambahan bagi pihak sekolah.

Jika semua sudah terpenuhi, apakah pembayaran klaim tersebut bisa tepat waktu? Dengan jumlah sekolah dan siswa yang banyak di seluruh Indonesia, ini adalah tantangan besar.

Semoga dalam implementasinya, negara tidak kehilangan kesadaran amanat fundamental tentang mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Semoga Allah merahmati kita semuanya. Amin.

Facebook Comments Box