Mustikatimes.com – Setiap individu memiliki hal yang mereka banggakan sebagai warga negara Indonesia. Tak terkecuali bagi musisi kondang, Baskara Putra, atau yang lebih dikenal dengan nama panggung Hindia.
Di sebuah episode perdana Popbellas Club, Ayu Utami, sang pembawa acara, membuka obrolan dengan Hindia. Ia mengajukan pertanyaan yang membuat Hindia berpikir sejenak, “Sebagai warga negara Indonesia, apa yang lu banggakan?” Pertanyaan ini membuka percakapan yang mendalam tentang perjalanan Hindia sebagai seorang musisi dan pandangannya terhadap industri musik di Indonesia.
Perjalanan Karir Seorang Bas
Ayu Utami memulai sesi inti dengan pertanyaan yang sederhana namun mendalam: “Seberapa jauh dari sini?” Pertanyaan ini merujuk pada perjalanan karir Hindia. Ia dengan tegas menjawab, “Jauh banget.” Ia menggambarkan bahwa apa yang ia capai saat ini dulunya hanyalah “mimpi gembel” yang tak terbayangkan.
Ia berbagi kenangan saat dulu, hanya bisa manggung saja sudah membuatnya bahagia. Kemudian, mimpi itu bertambah: manggung dibayar, lalu dibayar untuk biaya produksi, hingga akhirnya bisa menjalin kolaborasi dengan pihak label besar. Setiap langkah kecil ini ia rayakan sebagai sebuah kemenangan.
Hindia mengungkapkan bahwa ia tak lagi takut untuk memimpikan sesuatu yang jauh. Ia sudah tak hanya sekadar berharap bisa manggung dibayar, melainkan sudah berani menyebutkan nama venue besar seperti Indonesia Arena atau GBK sebagai tujuan berikutnya. Ia mengatakan, “Gue sekarang sudah tidak lagi bilang, ‘Aduh, gue pengen ini.’ Jadi misalnya gua pengen ke negara apa gitu, tapi ‘tahun depan gue akan ke sana.’ Jadi sudah enggak pengen lagi. Jadi manifestnya sudah langsung.”
Dinamika Ekosistem Musik Indonesia
Sebagai seorang musisi, Hindia sangat bangga dengan kualitas karya yang dihasilkan oleh musisi Indonesia. Ia menceritakan pengalamannya ketika Fish, bandnya, manggung di National Stadium Malaysia di hadapan 24.000 penonton. Baginya, itu adalah bukti bahwa jangkauan musik Indonesia sudah begitu luas.
Namun, ia juga menyampaikan kritik terhadap ekosistem musik di tanah air yang menurutnya masih memiliki banyak masalah. “Masih banyak yang tidak ideal,” ujarnya. Ia menyoroti isu-isu seperti penegakan hak cipta, kewajiban hukum, dan undang-undang yang masih carut-marut.
Isu pembayaran royalti di kafe dan klub menjadi salah satu polemik yang dibahas. Hindia berpendapat bahwa ini adalah urusan LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional) dan pemerintah, bukan urusan musisi. Ia menekankan bahwa masalahnya bukan pada kewajiban membayar, melainkan pada ketidakjelasan sistem dan sosialisasi yang buruk. Hindia menjelaskan, “Menurut gua jauh lebih menarik membicarakan apakah ini cara ngitung yang benar dan ideal, apakah ini cara collect royalti yang benar dan ideal… fokusnya adalah lu bayar, lu bayar, lu bayar. Gimana orang enggak kaget?”
Ia menyayangkan perpecahan yang terjadi di antara para musisi karena isu ini, yang menurutnya tidak akan terjadi jika undang-undang, aturan, dan prosesnya transparan dan jelas.
Hindia, Lomba Sihir, dan .Feast: Tiga Entitas, Satu Benang Merah
Ayu Utami bertanya mengenai perbedaan antara ketiga proyek musiknya: .Feast, Hindia, dan Lomba Sihir. Hindia menjelaskan bahwa benang merah dari ketiganya adalah “manusianya”. Meskipun membicarakan topik yang sama, hasilnya akan berbeda karena pengalaman hidup dan perspektif orang-orang yang terlibat di dalamnya berbeda.
Hindia memberikan contoh bagaimana .Feast, yang dulu dikenal agresif, kini menjadi lebih kalem. Ia berpendapat bahwa ini adalah bagian dari kedewasaan. “Enggak selalu kemarahan itu harus dengan teriakan… Kadang gue lebih takut di saat orang tua gue diam di saat marah dibandingin mereka marahin gue bentak depan muka,” tuturnya. Ini adalah refleksi dari perubahan diri para anggota seiring bertambahnya usia, yang juga tercermin dalam karya mereka.
Namun, ia membantah anggapan bahwa perubahan ini selalu merupakan pendewasaan. Ia menegaskan bahwa setiap album adalah cerminan dari isi hatinya pada saat itu. Ia bahkan mengatakan bahwa album keduanya, Lagipula Hidup Akan Berakhir, justru lebih childish dan tidak mempertimbangkan efeknya. “Gue lagi melewati episodes of depression yang berat… Jadi tertuang dan tercermin di karyanya,” ungkapnya. Menurutnya, perubahan manusia tidaklah linier, melainkan bisa berubah-ubah, dan ia menangkap setiap spektrum emosi itu ke dalam musiknya.
Merayakan Kemenangan Kecil
Hindia juga membahas momen terpilihnya sebagai salah satu musisi yang disorot dalam kampanye “Here’s to the Dreamers” dari Apple Music. Ia mengaku sangat bahagia dan tidak menyangka bisa mencapai titik ini. Ia bahkan menyadari mengapa orang tua generasi sebelumnya khawatir jika anaknya menjadi musisi. “Karena sistemnya enggak jelas,” ungkapnya. “Cara dapat uangnya dari mana? Ada serikatnya enggak segala macam? Bingung kita di sini semua bingung.”
Namun, di balik semua kerumitan itu, ia terus berusaha untuk merayakan kemenangan-kemenangan kecil. Ia menyebutkan bahwa dulu, bisa manggung saja sudah bahagia. Lalu, bisa mendapat manajer, dibayar, hingga akhirnya bisa memiliki banyak jadwal panggung. Hal ini membangun keberaniannya untuk bermimpi lebih besar. Ia menutup pembicaraan dengan harapan agar ekosistem musik di Indonesia bisa lebih rapi dan ideal. “Bayangin kalau ekosistemnya sudah rapi aja… Wah gila-gilaan pasti… Musik Indonesia tuh gila-gilaan pasti,” pungkasnya.