MUSTIKATIMES.COM – Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat, memicu perdebatan sengit di kalangan elite dan publik. Ide ini, yang seolah-olah mengulang perdebatan 100 tahun lalu saat para pendiri bangsa merumuskan sistem negara, dipertanyakan kembali relevansinya di era modern yang serba terhubung.
Mempertanyakan “Demokrasi Khas Indonesia”
Beberapa pihak, termasuk ketua umum partai besar, mendukung Pilkada tidak langsung sebagai “demokrasi khas Indonesia” yang dianggap lebih efisien dan murah. Namun, benarkah demikian?
Jika ditelusuri ke akar sejarah, para pendiri bangsa seperti Soekarno dan Hatta justru mengidamkan sebuah republik yang didirikan di atas dasar demokrasi, di mana rakyat memegang kedaulatan penuh. Pada November 1945, hanya dua bulan setelah kemerdekaan, Hatta bahkan sudah mengeluarkan maklumat tentang pentingnya pemilu.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957, yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, secara eksplisit menyatakan bahwa kepala daerah seharusnya dipilih langsung oleh rakyat. Keterbatasan sarana dan prasarana saat itu menjadi alasan mengapa Pilkada belum bisa dilakukan secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa Pilkada langsung adalah amanah sejarah yang sudah dicita-citakan sejak dulu.
Kemewahan Demokrasi yang Terancam
Pilkada langsung adalah salah satu “kemewahan” demokrasi yang dimiliki rakyat Indonesia. Di sinilah rakyat bisa secara langsung memilih pemimpinnya, berdialog, menagih janji, dan merasakan ikatan emosional dengan figur yang mereka pilih.
Seperti yang terjadi di Pati, ketika bupati yang dipilih rakyat merasa bertanggung jawab penuh terhadap rakyatnya, bahkan ketika menghadapi ancaman pemakzulan dari DPRD yang tidak memilihnya. Ini menunjukkan betapa kuatnya ikatan yang terjalin antara pemimpin yang dipilih langsung dan konstituennya.
Sebaliknya, jika Pilkada dikembalikan ke DPRD, ikatan ini berisiko hilang. Kepala daerah hanya perlu “baik-baikin” anggota dewan, dan tak lagi merasa perlu berinteraksi langsung dengan rakyat. Rakyat pun hanya akan menjadi objek dalam proses demokrasi, bukan subjek yang menentukan nasibnya sendiri.
Money Politics: Pindah Lokasi, Bukan Hilang
Argumen lain yang sering digunakan untuk mendukung Pilkada tidak langsung adalah untuk menekan biaya politik yang mahal dan mengurangi praktik politik uang (money politics). Namun, benarkah demikian?
Seperti diungkapkan oleh salah satu narasumber, praktik politik uang tidak akan hilang, melainkan hanya berpindah lokasi. Jika sebelumnya uang beredar di tingkat rakyat, kini perputaran uang itu akan terkonsentrasi di kalangan anggota DPRD.
Hal ini tidak hanya mengurangi peran rakyat, tetapi juga meminggirkan nilai-nilai demokrasi yang seharusnya didukung, seperti edukasi politik dan penegakan hukum yang tegas terhadap praktik-praktik ilegal.
Perjuangan PDI Perjuangan dan Sikap Teguh
Di tengah wacana ini, PDI Perjuangan (PDIP) tetap teguh pada sikapnya menolak Pilkada tidak langsung. Partai banteng moncong putih ini berkeyakinan bahwa suara rakyat adalah hal yang paling fundamental dalam demokrasi.
Ibu Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDIP, selalu menekankan pentingnya bonding dengan akar rumput dan mencium keringat rakyat. Ini adalah nilai-nilai yang dibangun sejak awal sebagai partai ideologis dan pelopor.
Sikap ini bukan tanpa risiko. Secara kuantitas, PDIP yang kini berada di luar pemerintahan bisa kalah suara jika voting di parlemen. Namun, bagi partai, ini adalah isu kualitatif, bukan hanya kuantitas. Ini tentang menjaga marwah dan nilai-nilai demokrasi yang sudah diperjuangkan sejak zaman Orde Baru, ketika Pilkada tidak langsung adalah cerminan dari rezim totaliter.
Bukan Hanya Politik, Tapi Juga Ekonomi
Selain dampak politik, Pilkada langsung juga memiliki dampak ekonomi yang besar. Perputaran uang dari kampanye, percetakan, transportasi, hingga jasa konsumsi dan riset, turut menggerakkan roda perekonomian.
Ketika Pilkada langsung dicabut, bukan hanya hak politik rakyat yang hilang, tetapi juga hak ekonomi para pelaku usaha kecil dan menengah yang menggantungkan hidupnya pada aktivitas tersebut.
Wacana Pilkada tidak langsung ini seolah mengajak kita mundur ke belakang, mengabaikan segala kemajuan dan nilai-nilai demokrasi yang sudah dibangun dengan susah payah oleh para pendahulu.
Ini adalah pertarungan antara nominal dan nilai; antara demokrasi dalam perspektif fulus (uang) dan values (nilai). Keputusan yang diambil akan menentukan apakah kita akan terus maju sebagai bangsa yang demokratis atau kembali ke masa lalu yang sarat dengan dominasi elite dan politik transaksional.