Mustikatimes.com – “Sulit sekali, Mas. Udah enggak tahu berapa ratus lamaran, enggak ada panggilan,” keluh seorang pencari kerja. Banyak anak muda menghadapi realitas pahit di Indonesia saat ini.
Lowongan pekerjaan yang layak seakan oase yang hadir di padang pasir dan hanya ilusi. Faktanya, mencari pekerjaan, terutama di sektor formal, telah menjadi tantangan berat, bahkan cenderung mustahil bagi sebagian besar angkatan kerja.
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal dan melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional memperparah fenomena sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia.
Gelombang PHK dan Angka Pengangguran yang Mengkhawatirkan
Data mengenai PHK menunjukkan disparitas yang signifikan. Meskipun Kementerian Ketenagakerjaan mencatat 24.000 korban PHK per April 2025, angka dari Lembaga Bantuan Hukum Partai Buruh dan Koalisi Serikat Pekerja jauh lebih tinggi, mencapai 70.000 buruh yang kehilangan pekerjaan dari 80 perusahaan. Kasus bangkrutnya raksasa tekstil PT Sri Rezeki Isman Tbk (Sritex) yang merumahkan lebih dari 10.000 pegawainya, serta PHK massal di industri media, menjadi bukti nyata krisis ketenagakerjaan yang sedang berlangsung.
Kondisi ini sejalan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi domestik yang mencapai 4,87% pada triwulan terbaru, terendah dalam dua tahun terakhir. Perlambatan ini secara langsung memengaruhi aktivitas bisnis, terutama di sektor formal yang menjadi tumpuan pekerja berpendidikan. Akibatnya, penyerapan tenaga kerja menurun drastis.
Pada Februari 2025, angka pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang, atau naik 80.000 dibandingkan tahun sebelumnya. Yang lebih miris, jumlah pengangguran dengan latar belakang pendidikan tinggi (sarjana hingga doktor) meningkat 1,77% dalam setahun terakhir, menunjukkan bahwa bahkan tingkat pendidikan tinggi tidak menjamin kemudahan mendapatkan pekerjaan.
Perebutan Lowongan dan Beralih ke Sektor Informal
Kesenjangan antara jumlah pencari kerja dan ketersediaan lowongan semakin timpang. Data BPS 2024 menunjukkan 90.000 pencari kerja memperebutkan hanya 630.000 lowongan. Pada masa pandemi COVID-19 di tahun 2023, situasinya bahkan lebih parah, di mana satu lowongan diperebutkan oleh sembilan pelamar.
Job fair di Cikarang pada akhir Mei lalu menjadi gambaran nyata betapa sengitnya persaingan. Lebih dari 25.000 pencari kerja memadati lokasi untuk memperebutkan hanya 2.500 lowongan. Ini bukan sekadar angka, melainkan cerminan frustrasi dan keputusasaan ribuan individu yang berjuang untuk bertahan hidup.
Akibat sulitnya mencari pekerjaan formal, banyak masyarakat beralih ke sektor informal, seperti pedagang kaki lima, pedagang asongan, pekerja rumah tangga, hingga pengemudi ojek. Data Februari 2025 menunjukkan 59,4% atau sekitar 86 juta masyarakat Indonesia bekerja di sektor informal, angka yang tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa pekerjaan informal menjadi “pelampiasan” bagi mereka yang terdampak PHK dari pekerjaan penuh waktu.
Jerat Penipuan dan Praktik Penahanan Ijazah yang Ilegal
Selain sulitnya mendapatkan pekerjaan, para pencari kerja juga harus menghadapi praktik-praktik merugikan, salah satunya adalah maraknya penipuan dan penahanan ijazah oleh perusahaan. Nur Kholis, mantan pegawai salah satu perusahaan Food and Beverage, berbagi pengalamannya di mana ijazahnya ditahan sebagai jaminan oleh perusahaan.
Padahal, Kementerian Ketenagakerjaan telah mengeluarkan surat edaran sejak 20 Mei lalu yang secara tegas melarang praktik penahanan ijazah dan dokumen pribadi pekerja. Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Imanuel Ebenzer, bahkan menyebut praktik ini sebagai “kejahatan” dan mengancam akan menjerat perusahaan nakal dengan pasal berlapis, termasuk penggelapan (pasal 374 KUHP) dan pemerasan (pasal 368 KUHP). Ini menunjukkan upaya pemerintah untuk melindungi hak-hak pekerja, namun penegakan di lapangan masih menjadi tantangan.
Para pencari kerja juga seringkali menjadi korban “job ghosting”, di mana perusahaan tiba-tiba menghentikan komunikasi tanpa pemberitahuan setelah proses rekrutmen yang panjang, bahkan setelah menawarkan pekerjaan.
Peran Pemerintah dan Harapan Lapangan Kerja Baru
Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan telah melakukan berbagai upaya, seperti menggelar Job Fair (Joper) dan memaksimalkan peran Balai Latihan Kerja (BLK) yang tersebar di seluruh Indonesia (sekitar 300 BLK). BLK ini fokus pada peningkatan kompetensi pekerja melalui upskilling dan reskilling sebagai bekal menghadapi tantangan pasar kerja.
Namun, peningkatan skill saja tidak cukup jika ketersediaan lapangan kerja masih sangat terbatas. Jika dibandingkan dengan Jepang pada April 2025, rasio ketersediaan pekerjaan di sana mencapai 1,26, artinya ada 126 pekerjaan untuk setiap 100 pencari kerja. Angka ini sangat timpang jika dibandingkan dengan kondisi di Indonesia.
Janji 19 juta lapangan kerja baru yang diusung oleh Wakil Presiden Gibran menjadi harapan besar bagi jutaan pencari kerja. Publik kini menanti realisasi dari janji tersebut, berharap agar masa depan ketenagakerjaan di Indonesia dapat membaik, tidak hanya sekadar “bunyi yang hanya menggemar 5 tahun sekali.”
Komentar