Mustikatimes.com – Gambaran kita tentang penyihir adalah perempuan tua, berhidung lancip, tresenyum licik, berpunggung bengkok, dan menggunakan topi runcing, dengan hewan peliharannya berupa kucing berwarna hitam.
Penggambaran tokoh ini biasanya digambarkan dalam film kartun animasi anak – anak sedang memasak ramuan di dalam kuali besarnya, dengan alat transportasi andalannya sapu lidi terbang. kegiatannya selain memasak ramuan adalah meramalkan mantra – mantra untuk musuhnya.
Pada awal Abad Pertengahan, praktik ‘penyihiran’ yang sebernarnya adalah praktik peramuan obat – obatan yang memanfaatkan tumbuh – tumbuhan dilarang. Bahkan trejadi tragedi pemburuan (pembunuhan) penyihir. Siapapun yang dicurigai penyihir dihukum, mulai dari ditenggelamkan, dibakar hidup – hidup, bahkan ada yang sampai bunuh diri.
Chollet disadur Ester, dalam Buku ‘Ada Serigala Dalam Diri Setiap Perempuan’, Para penyihir yang dibantai tersebut meruapakan seseorang yang mmapu membantu menyembuhkan oranglain dengan meramu obat dari tanaman, bahkan juga terdapat penyihir yang dapat membantu proses melahirkan serta menggugurkan bayi. Kepekaan yang dimiliki juga membnatu dalam prosesnya agar tidak terlalu sakit.
Mungkin kalau diibaratkan di Indonesia, para penyihir itu kayak Dukun beranak ya guys.
Lantas, mengapa penyihir adalah ikon feminis abad – 21 ?
Perempuan penyihir adalah lambang kebebasan dan kemandirian. Mereka tidak bergantung pada laki – laki untuk hidup. Mereka umumnya hidup sendiri entah karena sudah menjanda, atau memang memilih untuk hidup sendiri. Ketiga kelompok ini diasosiasikan sebagai penyihir.
Perempuan lajang memiliki kebebasan penuh atas waktunya. Mereka memiliki waktu yang panjang untuk membaca, berfikir, menulis, melukis, bebas melakukan apapun tanpa terganggu oleh ikatan hubungan pernikah contohnya. Perempuan lajang pada masa abad – 21 mendapatkan pembantaian berupa, pertanyaan kapan menikah, dan justifikasi masyarakat utuk segera menikah dikarenakan masa kesuburan.
Perempuan yang sulit memiliki anak, setelah menikahpun juga mendapatkan cemooh. apabila terjadi masalah pada masalah kesuburan yang dialami oleh perempuan, maka pihak keluarga aki – laki akan menyuruh suami (pihak laki – laki) untuk menikah kembali. Ini sih kayak film ‘Surga yang Tidak Dirindukan’ ya. Sebaliknya apabila laki – laki yang memiliki masalah kesuburan, pihak istri diharuskan untuk bersabar.
Masalah tidak berhenti sampai disitu, apabila sudah memiliki anak, urusan perawatan bayi setelah lahi rsemuanya dbebankan kepada pihak perempuan, belum lagi juga pekerjaan domestik. Nggak heran, kalau ibu – ibu banyak yang mengalami baby blues, ibu- ibu setelah melahirkan bayi tidak langsung memiliki sifat keibuan. terlihat ibu juga kebingungan dalam memahami maksud tangisan bayi.
Perempuan tua, yang sudah mulai timbul keriput, rambut yang berubah warna menjadi putih. Mulai tidak dianggap kehadirannya oleh masyarakat.
Kepada semua perempuan yang sedang mengalami itu semua, janganlah berputus asa, karena dianggap tidak normal dan berbeda dari ‘moralitas masyarakat’. Karena kita adalah Penyihir Abad – 21. Lakukanlah apapun yang ingin kau lakukan, selama itu bermnafaat bagi orang lain.