Jakarta, MUSTIKATIMES.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengusut kasus dugaan korupsi kuota haji yang diduga merugikan negara hingga triliunan rupiah. Kasus ini mencuat setelah adanya dugaan jual beli kuota haji reguler yang dialihkan menjadi kuota haji khusus.
Keterangan dari acara Hotman Paris Hotroom, mantan pimpinan KPK membahas bahwa menurut UU Nomor 8 Tahun 2018, kuota haji seharusnya terbagi 92% untuk haji reguler dan 8% untuk haji khusus. Namun, terjadi perubahan alokasi. Dari tambahan kuota haji sebanyak 20.000, 50% di antaranya justru dialokasikan untuk haji khusus. Hal ini diresmikan melalui keputusan Menteri Agama. Akibatnya, ada 8.400 kuota yang seharusnya menjadi hak haji reguler, malah dijual dengan tarif haji khusus melalui biro travel.
Diduga, uang dari penjualan kuota haji khusus ini tidak disetorkan ke kas negara melalui BPIH, melainkan dinikmati oleh sekelompok orang, termasuk para pejabat. Nilai kerugian negara diperkirakan mencapai lebih dari Rp 2 triliun. Kerugian juga dirasakan masyarakat karena antrean haji reguler menjadi lebih panjang, bahkan bisa mencapai 47 tahun.
Mastermind di Balik Kasus
Narasumber menduga bahwa master main atau dalang di balik kasus ini adalah mantan Menteri Agama dan para pejabat eselon satu yang terlibat dalam penyusunan surat keputusan. Diduga, keputusan pembagian kuota 50% untuk haji khusus dikeluarkan dengan sengaja, mengindikasikan adanya ‘niat jahat’ untuk mendapatkan keuntungan dari harga yang lebih tinggi.
Tak hanya itu, uang dari hasil penjualan kuota haji ini juga diduga digunakan untuk markup pengadaan akomodasi dan katering haji di Mekah. KPK telah melakukan penggeledahan di Kementerian Agama dan menyita ponsel para pejabat. Narasumber memprediksi kasus ini akan menjerat lebih dari 10 tersangka dan dapat dikenakan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Hotman Paris dan para narasumber sepakat, tindakan Menteri Agama yang mengubah kuota haji dari 8% menjadi 50% melalui keputusan resmi sudah cukup menjadi dasar untuk menetapkannya sebagai tersangka, bahkan jika tidak ada bukti aliran uang. Tindakan ini melanggar UU Nomor 8 Tahun 2018 dan termasuk dalam penyalahgunaan wewenang.