JAKARTA, MUSTIKATIMES.COM – Angka pengangguran di Indonesia masih menjadi sorotan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), dari 7,28 juta pengangguran, 1 juta di antaranya adalah lulusan pendidikan tinggi. Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah gelar sarjana masih relevan di pasar kerja?
Ironisnya, di saat yang sama, Indonesia tercatat memiliki 4.523 perguruan tinggi, dua kali lebih banyak dari Tiongkok. Setiap tahun, sekitar 1,7 juta lulusan baru “meramaikan” pasar kerja, memicu apa yang disebut para ahli sebagai “inflasi gelar”.
Inflasi Gelar: Saat Gelar Tak Lagi Jadi Jaminan
Seperti inflasi pada uang di mana terlalu banyak uang beredar membuat nilainya menurun, “inflasi gelar” terjadi saat terlalu banyak orang memiliki gelar sarjana sehingga nilai dan keunggulannya di pasar kerja ikut turun. Fenomena ini diperparah oleh adanya mismatch, di mana kompetensi lulusan tidak sejalan dengan kebutuhan industri.
Sebuah studi pada tahun 2023 menunjukkan, sekitar 33% lulusan terjebak dalam horizontal mismatch, yaitu bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan jurusan kuliah mereka. Akibatnya, banyak perusahaan kini tak lagi menjadikan gelar sebagai syarat utama. Praktik yang disebut ‘degree reset’ ini marak di berbagai sektor, termasuk administrasi, penjualan, layanan pelanggan, dan teknologi informasi.
Paradoks di Balik Data
Namun, di balik data suram ini, ada fakta yang lebih mencengangkan. Menurut data OECD, proporsi lulusan pendidikan tinggi di Indonesia (usia produktif 24-35 tahun) hanya 17,93%. Artinya, dari setiap 100 orang Indonesia usia produktif, hanya sekitar 18 orang yang bergelar sarjana. Angka ini jauh di bawah rata-rata negara maju (47,42%) dan sangat jauh jika dibandingkan Korea Selatan (70%).
Ini menunjukkan, masalah utama Indonesia bukanlah kelebihan sarjana secara kuantitas. Jumlah sarjana kita masih terlalu sedikit untuk mendorong transformasi ekonomi. Masalah sebenarnya adalah kualitas dan relevansi kompetensi yang dimiliki lulusan.
Era Skill di Atas Gelar
Paradoks ini menegaskan bahwa kita tidak kekurangan orang bergelar, melainkan kekurangan orang yang kompeten. Pasar kerja kini lebih menghargai keterampilan nyata ketimbang sekadar gelar. Fenomena ‘degree reset’ menjadi koreksi alami oleh pasar, membuka peluang bagi mereka yang menguasai keahlian spesifik, baik melalui kursus, sertifikasi, atau pengalaman langsung.
Bagi mereka yang sedang atau akan menempuh pendidikan tinggi, pesan ini sangat penting: gelar bukan lagi jaminan. Yang utama adalah skill apa yang dikuasai, pengalaman apa yang dimiliki, dan bagaimana kemampuan tersebut bisa menyelesaikan masalah di dunia nyata.
Meski demikian, perlu dicatat bahwa beberapa sektor seperti kedokteran, hukum, dan akademis tetap menjadikan gelar sebagai syarat standar profesi dan legalitas.
Pada akhirnya, pendidikan tinggi tetap menjadi investasi penting. Pengalaman Korea Selatan membuktikan, investasi besar pada pendidikan berkualitas adalah kunci transformasi ekonomi. Oleh karena itu, tantangannya bukan pada menambah jumlah sarjana, melainkan pada meningkatkan kualitas dan relevansi ilmu yang dipelajari agar sesuai dengan tantangan industri saat ini dan di masa depan.