mustikatimes.com– Memasuki medio era 2020-an, Liga Indonesia mengalami transformasi besar. diluar itu dorongan sponsor meningkat, stadion direnovasi, dan kualitas siaran televisi serta streaming digital semakin profesional walaupun ada saja aksi kontroversial.
Para kontestan Klub-klub seperti Bali United menjadi pionir dalam transformasi Liga Indonesia menjadi entitas bisnis modern, bahkan go public di bursa saham. Media sosial menjadi panggung utama interaksi antara klub dan fans, menggantikan majalah dinding dan radio.
Euforia kini lebih “megah” ada koreografi LED, jersey stylish, kolaborasi dengan musisi, konten viral, dan merchandise resmi. Suporter juga makin terbagi dalam dua kutub: mereka yang menikmati atmosfer stadion dan mereka yang aktif di dunia digital.
Namun di balik kemajuan itu, ada yang mulai hilang: kedekatan emosional yang dulu begitu kuat. Stadion makin mahal, klub makin eksklusif, dan pemain makin sulit diakses secara personal. Dalam beberapa kasus, loyalitas mulai tergantikan oleh fanatisme instan yang dipicu oleh algoritma viral, bukan sejarah dan rasa memiliki.
Dua Euforia, Dua Zaman
Era 2000-an menghadirkan euforia yang intim, emosional, dan penuh semangat kolektif. Sedangkan era kini menghadirkan euforia yang lebih modern, visual, dan komersial. Keduanya punya keindahan dan kekurangannya masing-masing.
Idealnya, sepak bola Indonesia bisa menggabungkan keduanya: semangat akar rumput yang jujur, dengan profesionalisme era modern yang membuka peluang besar bagi pertumbuhan industri olahraga. Karena apapun bentuk euforianya, sepak bola akan selalu menjadi bahasa pemersatu bangsa ini.