Opini Suara Warga
Beranda » Mustika » Mei 1998: Lebih dari Sekadar Sejarah, Fondasi Demokrasi Bangsa

Mei 1998: Lebih dari Sekadar Sejarah, Fondasi Demokrasi Bangsa

mustikatimes.comTanggal 21 Mei 98 selalu punya makna khusus bagi Indonesia. Setiap tahun, tanggal ini membawa kita kembali pada peristiwa besar ketika Presiden Soeharto mundur setelah 32 tahun berkuasa.

Momen ini bukan sekadar pergantian kepemimpinan biasa, melainkan puncak dari gelombang protes mahasiswa dan rakyat yang menuntut perubahan besar. Mei 98 secara efektif mengakhiri era Orde Baru dan membuka jalan bagi era Reformasi yang kita jalani hingga hari ini.

Tentu saja, peristiwa Mei 98 tidak muncul begitu saja. Rangkaian krisis ekonomi, ketidakpuasan sosial, dan desakan kebebasan berekspresi terus menumpuk. Mahasiswa jadi garda terdepan menyuarakan aspirasi rakyat, dan kita semua ingat bagaimana keberanian mereka memicu perubahan luar biasa.

Menganalisis Akar Masalah: Siswa SMP Belum Lancar Membaca

Sejumlah aktivis mahasiswa Universitas Terisakti peringati tragedi 98. (Foto : Liputsn6/mustikatimens.com)

Pengorbanan para aktivis dan elemen masyarakat pada masa itu patut kita hargai dan kenang. Tragedi yang menyertai Mei 98, seperti kerusuhan dan pelanggaran HAM, juga harus menjadi pengingat pahit akan harga yang harus dibayar demi perubahan.

Refleksi dan Tanggung Jawab Pasca-Mei 98

Namun, lebih dari sekadar mengenang, Mei 98 seharusnya jadi momentum untuk refleksi mendalam. Era Reformasi memang membawa banyak kebebasan, seperti kebebasan pers, berpendapat, dan berserikat.

Tapi, apakah semua cita-cita Reformasi sudah terwujud sepenuhnya?

Perlawanan Ibu-ibu Sukahaji: Dapur Umum Jadi Benteng Melawan Penggusuran

Tantangan seperti korupsi, kesenjangan sosial, dan polarisasi politik masih sering kita hadapi. Ini menunjukkan bahwa pekerjaan rumah pasca-Mei 98 masih banyak.

Peristiwa Mei 98 mengingatkan kita bahwa perubahan besar berawal dari suara rakyat, terutama anak muda. Ini adalah bukti kekuatan kolektif ketika masyarakat bersatu menuntut keadilan.

Penting bagi kita untuk tidak melupakan semangat kritis dan keberanian yang muncul saat itu.

Ironi di Pandeglang: Musik Dilarang, Sampah Disambut

Di sisi lain, Mei 1998 juga jadi pengingat bahwa demokrasi adalah proses yang berkelanjutan. Kita harus terus mengawal, berpartisipasi, dan memastikan bahwa setiap elemen pemerintahan benar-benar melayani rakyat.

Jangan sampai kebebasan yang sudah kita raih disalahgunakan atau malah mundur kembali.

Jadi, ketika 21 Mei tiba, mari kita tidak hanya melihatnya sebagai tanggal merah atau sekadar sejarah.

Anggap ini sebagai hari untuk kembali merenungkan, sudah sejauh mana demokrasi kita berjalan, dan apa peran kita selanjutnya untuk menjaga serta memperkuat fondasi yang diletakkan oleh Mei 98.

Artikel Terkait