Berita
Beranda » Mustika » Makan Beracun Gratis atau Makan Bergizi Gratis ?

Makan Beracun Gratis atau Makan Bergizi Gratis ?

MUSTIKATIMES.COM – Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh Badan Gizi Nasional (BGN) menjadi sorotan tajam setelah ribuan kasus keracunan makanan dilaporkan di berbagai daerah. Data terbaru menunjukkan peningkatan signifikan kasus keracunan, memicu kekhawatiran dari berbagai pihak, termasuk Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI).

Ribuan Anak Jadi Korban, Program MBG Memicu Kekhawatiran

Kasus keracunan massal dalam program MBG terus bertambah. Menurut data JPPI per September, sudah ada lebih dari 6.452 kasus yang dilaporkan, dengan penambahan 1.171 korban dalam kurun waktu kurang dari seminggu. Total korban kini mencapai lebih dari 8.000 anak. Laporan serupa juga ditemukan oleh CISDI, yang mencatat 6.600 kasus di 50 kota/kabupaten di 17 provinsi.

Temuan yang paling memprihatinkan adalah kasus keracunan yang berulang di Sekolah Pengelola Makanan (SPG) dan sekolah yang sama, seperti yang terjadi di Kabupaten Bandung Barat. Kejadian pada hari Senin kembali terulang pada hari Rabu di lokasi yang sama, menunjukkan kurangnya inisiatif serius untuk memperbaiki sistem yang ada.

Masjid Al-Falaah Pondok Sawah Indah Gelar Maulid Nabi Muhammad SAW 1447 H/2025 M

Masalah Sistemik: Dapur Tak Higienis dan Pengawasan Lemah

Baik JPPI maupun CISDI sepakat bahwa masalah utama bukan pada kesalahan teknis, melainkan masalah sistemik pada tata kelola program MBG. Data mengejutkan dari Kodari, Kepala Kantor Staf Presiden, yang dikutip oleh Tempo, mengungkapkan dari 8.583 dapur yang terlibat, hanya 34 yang memiliki sertifikat higienis. Sisanya, kondisinya tidak jelas dan terkesan diabaikan.

Ini menunjukkan program MBG dijalankan tanpa fondasi sistem yang kuat. Pedoman teknis (Juknis) yang ada dianggap tidak cukup detail dan jelas untuk memastikan standar keamanan pangan terjaga. Hal ini diperparah dengan dugaan adanya tekanan dari pihak-pihak tertentu kepada sekolah atau dinas kesehatan agar tidak memublikasikan data kasus keracunan secara transparan.

Analisis mikrobiologi yang dilakukan Tempo di sebuah lokasi di Jakarta Utara, dekat istana, menemukan adanya bakteri E.coli dan Basilus Tereus serta jamur Candida Albikan yang melebihi batas normal pada makanan. Bakteri-bakteri ini umumnya menjadi penyebab diare dan muntah-muntah.

iPhone Edisi Ulang Tahun Ke-20 Akan Pakai Layar COE Samsung

Anggaran dan Kualitas Menu yang Diragukan

Selain masalah higienitas, kualitas menu dan alokasi anggaran juga menjadi isu. CISDI mencatat bahwa dari 29 sampel menu yang dianalisis, hanya 17% yang memenuhi angka kecukupan gizi. Banyak menu yang tidak sesuai standar, seperti semangka setipis kartu ATM atau ikan hiu yang dilindungi dijadikan menu MBG di Ketapang, Kalimantan Barat.

Anggaran Rp15.000 per porsi dinilai tidak cukup untuk memenuhi standar gizi yang layak. Laporan JPPI menemukan adanya mark-up harga di mana uang yang diterima SPG hanya berkisar Rp8.000 hingga Rp10.000 per porsi, sehingga kualitas makanan terkorbankan.

Di sisi lain, BGN mengklaim telah menginstruksikan pengelola SPG untuk memaksimalkan anggaran bahan baku dan operasional. Namun, laporan di lapangan justru menyebutkan banyak pengelola SPG yang belum dibayar, sementara biaya pemulihan korban keracunan akhirnya ditanggung oleh Dinas Kesehatan setempat.

Ousmane Dembele Raih Gelar Ballon D’Or 2025

Tuntutan untuk Moratorium dan Evaluasi Total

Melihat kondisi ini, para orang tua dan guru mulai resah. Banyak sekolah menolak program MBG karena khawatir anak-anak mereka menjadi korban. JPPI dan CISDI sepakat bahwa satu-satunya solusi adalah moratorium atau penghentian sementara program.

Moratorium ini bertujuan untuk:

  • Evaluasi total: Memperbaiki sistem tata kelola, payung kebijakan, dan pedoman teknis yang ada.
  • Meningkatkan transparansi: Membuka data jumlah SPG, penerima manfaat, dan kasus keracunan secara publik.
  • Menggunakan pendekatan terdesentralisasi: Melibatkan pemerintah daerah dan komite sekolah.
  • Menerapkan program bertarget: Memfokuskan program kepada anak-anak yang paling membutuhkan, alih-alih mengejar kuantitas massal.
  • Memanfaatkan kantin sekolah: Sebagai alternatif, mengelola makanan di kantin sekolah terbukti lebih efektif dan minim kasus keracunan, seperti yang sudah dilakukan di banyak pesantren di Indonesia.

Meskipun program ini memiliki tujuan mulia untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia,

Artikel Terkait