Blora, MUSTIKATIMES.COM – Beberapa hari terakhir, publik dikejutkan oleh beredarnya sebuah video berdurasi singkat yang memperlihatkan aksi perundungan di lingkungan SMP Negeri 1 Blora. Dalam video itu, seorang siswa tampak menjadi sasaran kekerasan oleh teman sebayanya di kamar mandi sekolah. Ironisnya, beberapa siswa lain hanya berdiri, menonton, bahkan merekam, tanpa ada satu pun yang berusaha menghentikan kejadian itu.
Peristiwa yang terjadi pada Kamis, 6 November 2025, ini bukan hanya meninggalkan luka bagi korban, tapi juga menyisakan pertanyaan besar bagi kita semua: apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan dunia pendidikan kita?
Sebagai mahasiswa yang berfokus pada bidang pendidikan, saya merasa peristiwa ini bukan sekadar insiden di satu sekolah. Ini adalah tanda bahwa ada yang mulai pudar dari diri kita nilai empati, kepedulian, dan tanggung jawab moral. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat aman untuk belajar dan bertumbuh, kini justru menjadi ruang yang menimbulkan ketakutan bagi sebagian anak.
Bullying tidak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari hal-hal kecil yang sering dianggap sepele: ejekan yang dibiarkan, candaan yang berlebihan, hingga sikap diam ketika melihat ketidakadilan. Dari sana, lahir budaya saling merendahkan yang perlahan-lahan mengikis rasa kemanusiaan.
Dalam situasi seperti ini, pesan Ki Hajar Dewantara seolah menegur kita semua:
“Pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.”
Sayangnya, pendidikan kita hari ini terlalu sering menuntun pikiran, tapi lupa menuntun hati. Kita mengejar nilai dan prestasi, namun melupakan budi pekerti. Kita mengajarkan rumus dan teori, tapi jarang mengajarkan cara memahami perasaan orang lain.
Fenomena siswa yang hanya menonton tanpa menolong menjadi bukti nyata bahwa kepedulian mulai kehilangan tempatnya di hati anak-anak kita.
Sebagaimana kata Buya Hamka,
“Tujuan pendidikan bukanlah untuk membuat manusia menjadi pintar, tetapi untuk menjadikannya manusia yang mulia.”
Guru, orang tua, dan masyarakat punya tanggung jawab besar dalam hal ini.
Guru tidak cukup hanya mengajar di depan kelas, tapi juga harus hadir dengan teladan dan kasih.
Orang tua tidak cukup mengawasi nilai rapor, tapi juga perlu menanamkan empati sejak dini.
Dan masyarakat termasuk kita sebagai mahasiswa tidak boleh diam ketika melihat kekerasan menjadi hal yang dianggap biasa.
Sebagaimana pesan bijak dari R.A. Kartini,
“Tidak ada awan di langit yang tetap selamanya, tidak ada malam yang tidak menjadi siang.”
Artinya, selalu ada kesempatan untuk memperbaiki. Dari peristiwa kelam ini, kita bisa belajar bahwa pendidikan sejati bukan hanya soal kepandaian berpikir, tetapi juga tentang kemampuan untuk merasakan dan menghargai sesama.
Kita perlu membangun kembali sekolah sebagai tempat yang menumbuhkan kasih, bukan ketakutan. Tempat di mana setiap anak merasa aman, dihargai, dan diterima apa adanya. Karena sejatinya, pendidikan tanpa empati hanyalah pengetahuan tanpa jiwa.
Sebagaimana pesan abadi Ki Hajar Dewantara:
“Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah.”
Kini, tugas itu ada di tangan kita semua guru, orang tua, mahasiswa, dan masyarakat. Mari menjadikan setiap langkah kita sebagai teladan, dan setiap ruang kehidupan sebagai tempat untuk menanamkan kebaikan. Sebab bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang cerdas, tapi bangsa yang berhati lembut dan saling peduli. [aya]