Berita Budaya Sosial Mancanegara
Beranda » Mustika » Kenapa Kudeta di Thailand Sering Terjadi? Apakah Menjadi Budaya?

Kenapa Kudeta di Thailand Sering Terjadi? Apakah Menjadi Budaya?

Mustikatimes.com –  Kudeta militer menjadi fenomena yang sering terjadi di Thailand, bahkan dianggap sebagai bagian dari budaya politik negara tersebut. Berikut adalah poin-poin utamanya

Sejarah Kudeta di Thailand:

Kudeta telah menjadi ciri khas politik Thailand sejak tahun 1932. Menurut Statista, Thailand menduduki peringkat pertama dalam jumlah kudeta yang berhasil menggulingkan pemerintahan antara tahun 1945 hingga 2021, dengan 10 kudeta sukses.

Secara keseluruhan, Thai Inquirer mencatat 13 upaya kudeta yang berhasil di Thailand, tiga di antaranya terjadi sebelum 1945. Kudeta pertama pada tahun 1932 yang menggulingkan Raja Prajadhipok mengubah Thailand dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional, menjadikannya kudeta paling berdampak meskipun tanpa pertumpahan darah.

‘K-Pop Demon Hunters’ Jadi Fenomena, Kalahkan ‘Weapons’ di Box Office dan Netflix

Perdana Menteri pertama Thailand, Praya Manopakon Niti Thada, yang terpilih setelah kudeta 1932, juga digulingkan oleh militer pada tahun 1933. Intervensi militer dalam pemerintahan Thailand telah sangat besar sejak awal.

Upaya untuk menghentikan intervensi militer, seperti pada masa pemerintahan Chatichai Choonhavan (1988-1991) yang pro-sipil, malah berujung pada kudeta militer dengan alasan korupsi. Alasan korupsi ini selalu digunakan sebagai justifikasi untuk kudeta. Konstitusi 1997 diharapkan menghentikan kudeta, namun kudeta masih terus terjadi, termasuk kudeta terhadap Thaksin Shinawatra pada 2006 dan adiknya, Yingluck Shinawatra pada 2014.

Penguatan Posisi Militer:

CORTIS: Terobosan Baru dari BIGHIT MUSIC, Boyband yang Melawan Batasan

Kudeta yang berulang telah memperkuat posisi militer dalam politik Thailand. Konstitusi 2017 semakin mengukuhkan kekuasaan militer, memastikan bahwa pemerintahan tidak dapat bertentangan dengan militer selama setidaknya dua dekade.

Ini menyebabkan politikus pro-rakyat dan pro-demokrasi kesulitan naik ke pemerintahan tanpa dukungan militer. Konstitusi 2017 dianggap sebagai “kudeta permanen” oleh politikus pro-rakyat.

Faktor Penyebab Kudeta Berulang:

Kudeta sebagai Budaya: Negara yang pernah mengalami kudeta sebelumnya lebih rentan mengalami kudeta lagi. Di Thailand, kudeta telah menjadi bagian dari budaya politik dan masyarakatnya cenderung lebih toleran terhadapnya.

Perkuat Jejaring Global, Gemma Indonesia Raya Jalin Kemitraan Strategis di 3 Negara Asia

Sistem Pemerintahan Hibrida: Thailand memiliki bentuk pemerintahan monarki konstitusional yang berada di antara demokrasi penuh dan kediktatoran. Ini menciptakan tabrakan kepentingan yang memudahkan kudeta. Pasal 112 (undang-undang lese-majesty) dan konstitusi 2017 semakin memperkuat kekuasaan militer.

Legitimasi Kerajaan dan Militer: Legitimasi kekuasaan kerajaan dan militer membuat aksi kudeta kurang diperhatikan oleh dunia internasional, memberi mereka kebebasan lebih.

Dampak Kudeta terhadap Politik Thailand:

Konstitusi 2017 membuat pihak anti-militer hampir tidak mungkin mencapai puncak kekuasaan tanpa persetujuan militer. Pornsanong Bunditcheva, seorang profesor hukum, menyatakan bahwa Konstitusi 2017 tidak memiliki kualitas konstitusi modern karena tidak melindungi hak-hak rakyat dan justru menciptakan masalah, bukan menyelesaikannya.

Sulit bagi Thailand untuk mengembangkan budaya politik yang menolak kudeta, dan upaya demokratisasi terhambat oleh militer. Sepanjang sejarah, semua kudeta yang berhasil dilakukan oleh militer, dan upaya untuk menggulingkan militer tidak pernah berhasil.  Thailand kemungkinan besar akan terus menjadi negara semi-otoriter yang didominasi oleh militer dan kerajaan.

Artikel Terkait