Mustikatimes.com – Gerakan protes yang mengejutkan di Pati, Jawa Tengah, pada 13 Agustus lalu menunjukkan gelombang kemarahan masyarakat yang tak terduga. Aksi demonstrasi besar-besaran ini, yang menuntut pemakzulan Bupati Pati Sudewo, bukan hanya sekadar unjuk rasa biasa, melainkan sebuah “gerakan organik” yang tumbuh dari kekecewaan mendalam warga.
Kemarahan Warga yang Berlanjut
Meskipun sempat ada isu bahwa gerakan ini akan mereda, kenyataannya para demonstran di Pati tetap gigih. Mereka menuntut pemakzulan Sudewo yang dianggap “terlalu arogan” dan kebijakannya, khususnya kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 250 persen, telah memicu kemarahan publik. Sikap Sudewo yang menantang warga dengan pernyataan seperti “jangankan Rp 5.000, Rp 50.000 pun kita hadapi” semakin membakar emosi masyarakat.
Aliansi Pati Bersatu, koordinator aksi, kini tidak hanya fokus di Pati. Mereka berencana membawa isu ini ke Jakarta, mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melanjutkan kasus lama Sudewo terkait dugaan korupsi proyek kereta api. Rencana ini menunjukkan skala perlawanan yang lebih besar, dengan menggalang dana untuk menyewa bus yang akan membawa 50 hingga 100 bus ke ibu kota.
Reaksi Politik dan Intervensi Pusat
Respons dari para elit politik dan pemerintah pusat tak kalah menarik. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Pati, yang sebelumnya tampak pasif, langsung membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket. Langkah ini dianggap sebagai respons cepat untuk meredam desakan publik yang begitu masif. Partai Gerindra, partai asal Sudewo, bahkan menyatakan dukungan terhadap hak angket ini.
Namun, di balik layar, lobi-lobi politik sedang berjalan. Informasi dari narasumber Tempo menyebutkan adanya upaya untuk “mengambangkan” keputusan hak angket, dengan target minimal menyatakan bahwa Sudewo tidak melanggar sumpah jabatannya. Situasi ini mengingatkan pada kasus pemakzulan kepala daerah lain, seperti mantan Bupati Garut Aceng Fikri, yang berhasil dimakzulkan karena kasus pidana. Namun, dalam kasus Sudewo, prosesnya terkesan lebih berlarut-larut.
Pemerintah pusat juga turun tangan. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengirimkan tim untuk berdialog dengan Sudewo, yang akhirnya berujung pada penundaan kenaikan PBB. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga mengumpulkan para gubernur dan bupati untuk meminta mereka menunda kenaikan pajak dan bersikap lebih bijaksana dalam membuat kebijakan. Di samping itu, lembaga intelijen seperti BIN dan Polri juga turut bergerak, mendekati tokoh-tokoh masyarakat untuk mengedepankan dialog dan mencegah aksi serupa meluas.
Kebijakan Pusat yang Menyulut Api di Daerah
Kemarahan masyarakat Pati tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah pusat. Pemotongan Dana Transfer Daerah (DTD) sebesar Rp 260 triliun oleh pemerintah pusat, sebagai bagian dari program efisiensi, telah memukul pendapatan daerah. Kepala daerah di berbagai wilayah, termasuk Pati, terpaksa mencari cara lain untuk mengisi kas daerah.
Dana transfer yang berkurang ini, membuat kepala daerah kesulitan membiayai program pembangunan, seperti infrastruktur dan pendidikan. Akibatnya, mereka mengambil jalan pintas dengan menaikkan pajak, seperti PBB, yang paling signifikan mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Situasi ini adalah hasil dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah, yang memberikan ruang bagi daerah untuk memaksimalkan pajak. Sayangnya, banyak kepala daerah yang kini hanya menjadi administrator belaka, tanpa ruang untuk berinovasi, karena program-program sudah ditentukan langsung dari pusat.
Peringatan untuk Para Elit
Peristiwa di Pati adalah bukti nyata bahwa masyarakat kini lebih berani. Aksi ini menjadi peringatan bagi para elit politik dan kepala daerah yang kerap kali mengabaikan suara rakyat. Gerakan ini harus dikawal, karena ada kekhawatiran bahwa proses hukum dan politik akan kembali mandek, membuat masyarakat lelah dan lupa.
Pati adalah cerminan dari kegagalan para pemimpin yang tak berani berargumen dengan pemerintah pusat dan memilih untuk menekan rakyatnya sendiri demi kebijakan yang tidak populis. Keberanian warga Pati harus menjadi contoh bagi daerah lain, bahwa suara rakyat, ketika disatukan, memiliki kekuatan yang tak bisa diremehkan.