Mustikatimes.com- Sepak bola Indonesia menutup 2025 bukan dengan amarah, melainkan dengan kelelahan kolektif. Publik merasa letih bukan semata karena kekalahan, tetapi karena kekalahan itu datang tanpa arah dan tanpa penjelasan yang memadai. Karena itulah, pertanyaan publik pun berubah. Mereka tak lagi bertanya mengapa Timnas Indonesia gagal, melainkan sejak kapan kegagalan diterima sebagai sesuatu yang wajar.
Sepanjang tahun ini, pengelolaan sepak bola nasional memperlihatkan potret paling jujur. Para pengambil kebijakan lebih mengandalkan keyakinan ketimbang perencanaan. Narasi besar, nama besar, dan janji besar terus mereka gaungkan. Namun pada saat yang sama, mereka tak pernah menyodorkan peta jalan yang bisa diuji secara terbuka.
Ketika Proses Diputus, Jalan Pintas Dipilih
Awal Januari 2025 menjadi momen krusial. PSSI memecat Shin Tae-yong di tengah proses yang masih berjalan. Langkah ini mengejutkan publik, bukan karena STY tampil tanpa cela, melainkan karena tim mulai menunjukkan fondasi yang jelas.
Alih-alih menyempurnakan proses tersebut, PSSI justru mengambil jalan pintas. Mereka mendatangkan Patrick Kluivert dengan keyakinan bahwa reputasi global mampu menggantikan kerja sistemik yang selama ini dibangun. Akibat pilihan itu, sepak bola Indonesia kembali terperangkap dalam ilusi lama. Banyak pihak menyamakan nama besar dengan arah yang jelas.
Dampak keputusan tersebut segera terasa. Timnas Indonesia menelan kekalahan beruntun, dari Australia hingga Arab Saudi. Pada akhirnya, mimpi tampil di Piala Dunia 2026 runtuh sebelum benar-benar memperoleh pijakan kuat.
Kegagalan yang Menyeluruh, Bukan Sekadar Insidental
Tahun 2025 terasa pahit bukan karena satu kegagalan tunggal. Sebaliknya, kegagalan itu muncul secara merata di hampir semua level.
Timnas U-20 tersandung sejak fase grup. Di level berikutnya, Timnas U-23 gagal menembus putaran final. Timnas senior pun tersingkir dari jalur Piala Dunia. Pada ajang SEA Games, emas lepas dari genggaman, sementara timnas putri pulang tanpa membawa medali.
Ketika kegagalan hadir secara serempak, persoalan tak bisa lagi disederhanakan sebagai masalah teknis. Dalam konteks ini, tata kelola menjadi sumber masalah yang paling masuk akal.
Erick Thohir dan Politik Simbol Sepak Bola
Pada awal masa jabatannya, Erick Thohir tampil sebagai simbol harapan baru. Reputasi internasional dan keberaniannya mengambil keputusan menumbuhkan ekspektasi bahwa sepak bola Indonesia akhirnya berada di tangan sosok yang memahami medan.
Namun sepanjang 2025, kenyataan justru memperlihatkan paradoks. Rentetan kegagalan tak pernah diiringi evaluasi terbuka atau pertanggungjawaban yang tegas. Sebagai gantinya, publik hanya menerima pernyataan normatif dan janji jangka panjang.
Dalam situasi seperti ini, sepak bola perlahan berubah menjadi panggung simbolik. Pengelola memajang prestasi masa lalu, sementara mereka menunda penjelasan atas kegagalan hari ini.
Blueprint yang Lebih Sering Diucapkan daripada Diperlihatkan
Setiap kritik hampir selalu berujung pada satu jawaban yang sama: blueprint.
Sayangnya, pengelola sepak bola nasional tak pernah menghadirkan blueprint itu sebagai dokumen publik. Alih-alih berfungsi sebagai alat ukur kebijakan, konsep tersebut lebih sering tampil sebagai mantra politik. Target Piala Dunia pun bergeser dari 2026 ke 2030, lalu ke 2034, tanpa penjelasan sistemik mengenai perubahan yang benar-benar terjadi.
Tanpa peta jalan yang terbuka, semua klaim kehilangan bobot. Pengurus bisa mengklaim kesuksesan dengan mudah, sementara mereka menegosiasikan kegagalan dengan berbagai alasan.
Rangkap Jabatan dan Logika Tata Kelola
Persoalan semakin kompleks ketika Erick Thohir merangkap jabatan sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga sekaligus Ketua Umum PSSI. Dalam logika tata kelola, situasi ini menghadirkan ironi yang sulit dibantah. Satu tangan berperan sebagai regulator, sementara tangan lain bertindak sebagai operator.
Konsekuensinya jelas. Konflik kepentingan tak lagi sekadar kemungkinan, melainkan keniscayaan. Absennya FIFA Matchday, target prestasi yang terus berubah, serta kebijakan yang inkonsisten menjadi gejala dari sistem yang kehilangan keseimbangan.
2025 sebagai Tahun Paling Jujur
Pada akhirnya, kalidoskop sepak bola Indonesia 2025 menyisakan satu kesimpulan utama. Sepak bola nasional tidak kekurangan mimpi, tetapi kehabisan metode.
Nama besar tidak mampu menggantikan sistem. Janji panjang tak sanggup menutupi kegagalan struktural. Cepat atau lambat, publik akan berhenti mempercayai narasi yang tak pernah mereka uji.
Jika para pemangku kepentingan melewati 2025 tanpa pembenahan mendasar, kegagalan serupa hampir pasti terulang. Namun bila mereka menjadikan tahun ini sebagai titik balik untuk membuka blueprint ke publik, menata ulang tata kelola, dan mengakhiri politik simbol, maka kekalahan ini masih menyimpan makna.
Sepak bola Indonesia tidak membutuhkan juru selamat. Ia membutuhkan kepemimpinan yang siap diuji dan sistem yang berani dibuka.