Jakarta, mustikatimes.com– Konflik antara Iran dan Israel yang memanas sejak 13 Juni 2025 belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Kedua negara saling beradu proyektil, membuat langit Timur Tengah bagaikan hujan bintang jatuh di malam hari.
Untuk kali pertama dalam waktu yang lama, Israel menghadapi serangkaian serangan yang menimbulkan kerusakan signifikan. Video yang beredar memperlihatkan rudal Iran berhasil menghindari pertahanan udara Iron Dome, menyebabkan ledakan besar di tengah gedung bertingkat di Israel.
Pertempuran ini menarik perhatian dunia, memunculkan pertanyaan besar: Strategi apa lagi yang Iran simpan? Seberapa jauh Iran akan membalas serangan Israel, dan bagaimana caranya?
Strategi 1: Gempuran Rudal Konvensional Tanpa Henti
Strategi utama yang Iran gunakan sejauh ini adalah terus menggempur Israel dengan sistem rudal konvensionalnya selama berminggu-minggu.
Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi, menegaskan bahwa negaranya hanya akan menghentikan serangan jika Israel berhenti menyerang.
“Kami membela diri. Ini adalah pertahanan yang sah, dan pertahanan kami merupakan respons terhadap agresi. Oleh karena itu, jika agresi berhenti, pertahanan kami juga akan berhenti secara alami.” Tegas Abbas Araqchi.
Iran memiliki program rudal terbesar di Timur Tengah, dengan ribuan rudal balistik yang siap digunakan. Rudal-rudal ini memiliki jangkauan dan kecepatan yang bervariasi.
Bahkan, Iran dikabarkan telah membangun fasilitas rudal bawah tanah berskala besar yang mereka sebut “kota rudal bawah tanah Iran.”
Efektivitas rudal Iran telah mereka buktikan dalam serangan balasan ke Israel pada Minggu, 15 Juni 2025. Dalam operasi yang mereka namakan “True Primer Street” ini, Iran untuk kali pertama menggunakan Rudal Haj Qasim.
Rudal ini dilaporkan mampu menghindari pertahanan udara Israel. Kekuatan dan kecepatan Rudal Haj Qasim juga berbeda dibanding rudal-rudal yang selama ini Iran gunakan. Iron Dome menghadapi ujian berat dari serbuan rudal yang Iran luncurkan secara kolektif.
Meskipun Iran memiliki rudal-rudal canggih, jumlahnya terbatas. Oleh karena itu, Iran harus membatasi penggunaannya. Namun, Iran dapat menggabungkan rudal canggihnya dengan rudal standar dan ribuan drone untuk mendukung kemampuan militernya.
Belum ada informasi pasti mengenai jumlah rudal dan amunisi yang Iran atau Israel miliki, begitu pula durasi pertempuran ini.
Strategi 2: Tekanan Ekonomi Melalui Penutupan Selat Hormuz
Kartu as kedua yang Iran miliki bukan melalui taktik militer, melainkan dengan memberi tekanan lewat potensi penutupan Selat Hormuz. Ini adalah strategi yang paling mungkin Iran lakukan jika pertempuran terus berlanjut dalam waktu dekat.
Mengapa menutup Selat Hormuz menjadi alternatif bagi Iran?
Selat Hormuz adalah satu-satunya pintu masuk laut yang menghubungkan Teluk Persia dengan Teluk Oman dan Laut Arab di Samudra Hindia. Jalur air ini membelah Iran di satu sisi, serta Oman dan Uni Emirat Arab di sisi lainnya. Badan Informasi Energi Amerika Serikat melaporkan sekitar 20% konsumsi minyak global harus melewati selat ini.
Padahal, jalur ini hanya sepanjang sekitar 167 km dengan lebar bervariasi antara 33 km hingga 95 km. Praktis, Hormuz telah berevolusi menjadi titik sempit transit minyak paling penting di dunia.
Jika Iran benar-benar menutup Selat Hormuz, harga minyak yang sudah tinggi bisa melonjak drastis, bahkan menyentuh angka US$100 per barel (sekitar Rp1,6 juta).
Kenaikan signifikan ini akan menjadi kabar buruk bagi perekonomian global, khususnya dompet warga Amerika Serikat, dan berpotensi memicu respons militer dari Presiden Donald Trump.
Negara-negara yang tidak mengimpor minyak dari negara Teluk pun kemungkinan akan terpengaruh jika Selat Hormuz ditutup. Pasalnya, tidak ada cara lain untuk mengirim apapun keluar dari Teluk tanpa melewati Selat Hormuz.
Menutup Selat Hormuz kemungkinan besar bisa menjadi kartu yang Iran mainkan dalam jangka pendek. Gangguan di jalur perairan Timur Tengah selama konflik sudah kerap terjadi, tidak hanya di Selat Hormuz.
Pada tahun 2024, Angkatan Bersenjata Iran pernah menyita sebuah kapal kontainer di dekat Selat Hormuz setelah Israel menyerang kedutaan besar Teheran di Damaskus, Suriah. S
ementara itu, sejak tahun 2023, proksi Iran yang bermarkas di Yaman, Houthi, juga berulang kali melakukan sabotase di Laut Merah. Houthi mengganggu pelayaran di Laut Merah dengan menyerang kapal-kapal yang berafiliasi dengan Israel dan Amerika Serikat.
Meski begitu, kapal-kapal yang melewati Laut Merah masih bisa memutar dengan mengelilingi Afrika. Ini berbeda dengan Selat Hormuz yang tak memiliki jalur alternatif.
Risiko Menutup Hormuz: Keterlibatan Amerika Serikat
Namun, menutup Selat Hormuz bukan berarti tanpa konsekuensi bagi Iran. Jika Iran benar-benar menutup Selat Hormuz, Amerika Serikat kemungkinan akan bereaksi dengan mengaktifkan aset militernya di Timur Tengah.
Hal itu bisa saja terjadi, mengingat Amerika Serikat memiliki banyak pangkalan militer yang tersebar di Timur Tengah, mulai dari Irak, Qatar, Bahrain, hingga Uni Emirat Arab. Personel Amerika Serikat yang tersebar di Timur Tengah saja mencapai lebih dari 40.000 tentara.
Iran juga tampaknya tidak ingin Amerika Serikat terlibat dalam pertempuran. Hal itu terlihat dari langkah hati-hati yang selalu Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, ambil.
Bahkan sejak perang dengan Israel pecah, Iran tidak pernah menyentuh fasilitas militer milik Amerika Serikat di mana pun.
Mengutip Al Jazeera, ada beberapa alasan mengapa Iran tidak mau Amerika Serikat ikut terlibat:
- Serangan gabungan Israel dan Amerika Serikat bisa menempatkan Iran pada posisi yang sangat tidak menguntungkan.
- Amerika Serikat dan Israel kemungkinan besar akan menyasar fasilitas nuklir Iran yang paling mereka lindungi.
- Jika Amerika Serikat terlibat, Iran otomatis harus menyerang pangkalan militer Washington di negara-negara Teluk. Padahal, negara-negara itu juga memiliki peran penting bagi Iran dan bisa menjadi mediator yang potensial.
Menutup Selat Hormuz mungkin bisa menjadi alternatif bagi Iran untuk menekan Israel. Namun, di lain sisi, Iran juga harus mempertimbangkan berbagai konsekuensi yang akan timbul, salah satunya adalah keterlibatan langsung Amerika Serikat.
Iran memang memiliki sejumlah proksi di Timur Tengah yang bisa membantunya. Meskipun demikian, Iran juga tidak ingin perang di kawasan itu meluas karena berpotensi memengaruhi ekonominya dan menimbulkan kerusuhan di dalam negeri.
Strategi 3: Jalur Diplomasi sebagai Jalan Tengah
Pada akhirnya, ada pula kemungkinan Iran akan memilih jalur diplomasi sebagai jalan tengah. Ini bukan berarti menyerah, tetapi Iran bisa memilih meredakan konflik dengan duduk di meja perundingan, seperti yang Abbas Araqchi ucapkan sebelumnya.
Iran sudah memberi sinyal akan menghentikan serangan apabila Israel juga menurunkan senjatanya. Namun, semua itu kembali lagi pada Amerika Serikat dan Israel.
Presiden Donald Trump harus menekan Israel dan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menghentikan serangannya supaya jalur diplomasi bisa kembali dibuka.
Akan tetapi, kepercayaan Iran pada Trump sudah tergerus karena gerak-gerik Amerika Serikat sebelum Israel meluncurkan operasi “Rising Lion” pada 13 Juni 2025.
Saat itu, Amerika Serikat menyatakan bahwa perundingan nuklir dengan Iran akan berlanjut ke putaran keenam pada Minggu, 15 Juni 2025. Padahal, pada saat yang sama, Amerika Serikat juga mengetahui bahwa Israel akan menyerang Iran pada 13 Juni 2025 karena pejabat Israel sebelumnya sudah memberitahukan rencananya kepada pejabat Washington.
Amerika Serikat tidak mencegah Israel serta tidak memberitahukan Iran dan tetap membiarkan Tel Aviv melancarkan aksinya.
Terlepas dari kepercayaan Iran yang memudar pada Amerika Serikat, perjanjian nuklir dengan Washington tetap menjadi jalan terbaik bagi Iran untuk menghentikan serangan Israel. Ini tidak hanya baik bagi Iran, namun juga bagi kawasan tersebut agar konflik tidak semakin meluas.
Masa Depan Konflik: Akankah Damai Datang?
Perang belum menunjukkan tanda berakhir, meskipun upaya damai terus berjalan. Iran dan Israel masih berhadapan di medan tempur, mempertaruhkan ambisi, harga diri, dan masa depan kawasan.
Iran punya tiga pilihan strategis: menggempur, menekan, atau meredam.
- Menggempur: Dengan ribuan rudal dan drone, mereka menebar teror di langit Israel dan menguji ketangguhan Iron Dome.
- Menekan: Dengan menutup Selat Hormuz, mereka bisa melumpuhkan pasar minyak dunia dan memicu efek domino global.
- Meredam: Memilih untuk meredakan konflik dengan menjalin dialog dan menempuh diplomasi, yang dipandang sebagai jalan paling rasional.
Namun, semua itu tak sepenuhnya ada di tangan Iran saja. Amerika Serikat, sebagai pemain belakang layar sejak awal, punya peran kunci untuk mengerem serangan Israel dan membuka ruang perundingan.
Pertanyaannya, maukah Trump melakukannya, atau Trump justru memilih menyulut api yang sudah menjalar di Timur Tengah Yang jelas, langit masih bergema oleh ledakan dan bumi masih bergetar oleh dentuman.
Damai belum datang, tetapi perang juga belum selesai. Terus pantau perkembangannya!
Komentar