mustikatimes.com- Tau gak sih, di perbatasan Korea Utara (Korut) sama Korea Selatan (Korsel) itu ada yang unik banget selain pagar kawat berduri? Ada pengeras suara gede warna hijau yang nyamar!
Waktu gue lihat ke arah Korut sore itu, tiba-tiba salah satu speaker muter lagu-lagu K-Pop hits diselingi sindiran buat Korut.
“Kalau kita jalan-jalan ke luar negeri, rasanya eneg banget!” teriak suara cewek dari seberang. Jelas banget ini nyindir karena warga Korut kan gak boleh keluar negeri.
Dari pihak Korut, sayup-sayup terdengar musik propaganda militer. Kayaknya rezim Kim Jong Un berusaha ngeblokir siaran “hasutan” dari Korsel.
Perang Informasi: Siaran Rahasia Hingga USB K-Pop
Sebenarnya, Korut dan Korsel itu masih perang secara teknis. Walaupun udah lama gak saling tembak, mereka lagi “perang” yang lebih halus: perang informasi!
Korsel berusaha nyusupin info ke Korut, dan Kim Jong Un mati-matian ngeblokir. Dia pengen rakyatnya gak tahu info dari luar. Soalnya, Korut itu satu-satunya negara di dunia yang belum punya internet bebas. Semua TV, radio, koran, dikuasain pemerintah.
“Kontrol ini penting karena banyak mitos soal keluarga Kim itu dibuat-buat. Banyak yang mereka kasih tahu ke rakyat itu bohong,” kata Martyn Williams, ahli info Korut dari Stimson Center.
Kalau bohongnya kebongkar ke banyak orang, rezimnya bisa runtuh. Kira-kira gitu pikir Korsel.
Pengeras suara cuma salah satu alat Korsel. Tapi, di balik layar, ada gerakan bawah tanah yang lebih canggih. Beberapa lembaga penyiaran dan nirlaba kirim info ke Korut lewat gelombang radio tengah malam.
Ini bikin warga Korut bisa dengerin diam-diam.
Ribuan USB dan kartu micro-SD juga mereka selundupin tiap bulan. Isinya info dari luar, kayak film Korsel, drama TV, lagu pop (kayak BTS!), sama berita.
Tujuannya jelas, biar warga Korut tahu kebenaran di luar propaganda. Namun, sekarang para pekerja di lapangan mulai khawatir. Mereka merasa Korut bakal menang.
Tindakan Keras Kim Jong Un & Dampak “Trump Effect”
Kim Jong Un bukan cuma nindak tegas yang ketahuan bawa konten asing. Masa depan kerjaan ini juga terancam. Mayoritas dananya datang dari pemerintah AS, tapi kini kena imbas pemotongan bantuan dari Presiden AS Donald Trump.
“Jadi, gimana nasib perang informasi ini?”
Tim Unification Media Group (UMG), organisasi nirlaba Korsel, tiap bulan nyaring berita dan hiburan. Mereka bikin playlist yang mereka harap disukai orang Korut.
Lalu, mereka masukin ke USB. Ada yang berisiko rendah (drama Korea, lagu pop kayak dari Jennie Blackpink), ada juga yang berisiko tinggi (program edukasi soal demokrasi dan HAM – ini yang Kim paling takutin).
USB itu mereka kirim ke perbatasan China, lalu dibawa nyebrang sungai ke Korut. Risikonya gede banget!
Drama Korea mungkin kelihatan sepele. Tapi, drama ini ngebongkar banyak hal soal kehidupan di Korsel: orang-orang tinggal di apartemen mewah, naik mobil keren, makan di restoran fancy.
Ini nunjukkin kebebasan mereka dan gimana Korut jauh ketinggalan. Drama ini langsung menantang kebohongan besar Kim: kalau orang Korsel itu miskin dan tertindas.
“Beberapa orang bilang, mereka nangis nonton drama ini,” kata Lee Kwang-baek, direktur UMG. “Drama ini bikin mereka mikir soal impian mereka sendiri untuk pertama kalinya.”
Bongkar Fakta & Mimpi Kebebasan
Kang Gyuri (24), seorang pembelot dari Korut, bilang dia melarikan diri akhir 2023. Nonton TV asing jadi inspirasinya. “Aku ngerasa tercekik banget, dan tiba-tiba pengen pergi.”
Dia cerita, dulu waktu kecil suka dengerin radio sama ibunya. Umur 10 tahun dia pertama kali nonton drama Korea. Bertahun-tahun kemudian, dia tahu USB dan kartu SD diselundupin lewat kotak buah.
Makin dia tahu, makin dia sadar pemerintahnya bohong. “Dulu aku pikir wajar aja negara ngebatesin kita. Kupikir negara lain juga kayak gini,” jelasnya. “Tapi terus aku sadar itu cuma di Korea Utara.”
Hampir semua temannya di sana nonton TV dan film Korsel. Mereka tukeran USB, ngobrolin drama, aktor, sama idola K-Pop (kayak beberapa anggota BTS!).
Mereka juga bahas gimana maju ekonomi Korsel. Namun, mereka gak bisa langsung kritik rezim Korut.
Tontonan itu juga ngaruh ke cara mereka ngomong dan berpakaian. “Generasi muda Korea Utara udah berubah cepet banget.”
Kim Jong Un Makin Ketat, Tapi Asa Tetap Ada
Kim Jong Un sadar bahaya ini buat rezimnya, jadi dia balas menyerang.
Selama pandemi, dia bangun pagar listrik baru di perbatasan China. Ini bikin makin susah nyelundupin info. Terlebih lagi, sejak 2020 ada undang-undang baru.
Hukuman buat yang ketahuan nonton atau nyebarin media asing makin berat. Yang nyebarin bisa dipenjara atau dieksekusi!
Ini jelas berdampak. “Dulu media ini bisa dibeli di pasar, dijual bebas. Sekarang cuma bisa dari orang yang benar-benar kita percaya,” kata Pak Lee.
Setelah penindakan dimulai, Kang dan teman-temannya juga jadi lebih hati-hati. “Kami gak saling ngobrolin ini lagi, kecuali kalau bener-bener dekat. Itu pun lebih tertutup,” aku Kang. Dia tahu banyak anak muda dieksekusi karena ketahuan bawa konten Korsel.
Kim juga nindak tegas perilaku yang mirip drama Korea. Pada 2023, dia menetapkan pakai frasa atau ngomong logat Korsel itu tindak pidana.
Anggota ‘pasukan penindakan remaja’ patroli di jalanan. Tugas mereka ngawasin perilaku anak muda. Ibu Kang ingat dia sering dihentiin dan ditegur karena pakaian dan rambutnya kayak orang Korsel.
Pasukan itu suka nyita hapenya, baca SMS-nya, buat mastiin dia tidak menggunakan istilah Korea Selatan.
HP Korut Disadap, Dana Bantuan Dipotong: Gimana Nasib Perang Ini?
Akhir 2024, Daily NK (layanan berita UMG) berhasil nyelundupin HP Korut. HP itu sudah mereka program. Kalau kamu masukin kata Korsel, otomatis kata itu hilang, diganti kata Korut – serem banget kayak di film!
“HP pintar sekarang jadi cara Korut mencoba mengindoktrinasi orang,” kata Pak Williams. Setelah semua tindakan keras ini, dia yakin Korut sekarang “mulai menguasai” perang informasi.
Setelah Donald Trump kembali ke Gedung Putih awal tahun ini, dia memotong sejumlah dana untuk organisasi bantuan. Ini termasuk beberapa yang bekerja memberi informasi kepada warga Korea Utara.
Dia juga menangguhkan dana untuk dua layanan berita federal, Radio Free Asia dan Voice of America (VOA), yang sering menyiarkan berita ke Korea Utara.
Trump menuduh VOA “radikal” dan “anti-Trump”. Gedung Putih bilang langkah itu “memastikan pembayar pajak tidak lagi menanggung propaganda radikal.”
Tapi, Steve Herman, mantan kepala biro VOA di Seoul, bilang: “Ini salah satu dari sedikit jendela yang memperlihatkan dunia kepada rakyat Korea Utara. Dan jendela itu tidak pernah muncul lagi tanpa penjelasan.”
UMG masih menunggu kabar apakah dana mereka akan dipotong permanen.
Pak Park dari Liberty in North Korea bilang Trump “tidak sengaja” ngebantu Kim. Dia sebut tindakan itu “tidak berwawasan luas.”
Dia bilang Korut dengan senjata nuklirnya itu ancaman besar. Sanksi, diplomasi, dan tekanan militer udah gagal bikin Kim denuklirisasi. Oleh karena itu, informasi adalah senjata terbaik yang tersisa.
“Kita gak cuma nahan ancaman Korut, kita berusaha menyelesaikannya,” ujarnya. “Untuk itu, kita perlu mengubah sifat negara ini.”
“Kalau aku seorang jenderal Amerika, aku akan bertanya ‘berapa biaya semua ini, dan sebenarnya itu penggunaan sumber daya kita yang cukup baik’.”
Siapa yang Bayar? Tetap Optimis!
Yang jadi pertanyaan, siapa yang harus danai kerjaan ini. Kenapa hampir seluruhnya jadi tanggung jawab AS?
Salah satu solusinya, Korsel yang bayar. Tapi, masalah Korut itu politis banget di sana.
Partai oposisi liberal cenderung mau perbaiki hubungan sama Pyongyang. Itu artinya, mendanai perang informasi gak bakal laku. Calon presiden terdepan partai itu bahkan bilang dia bakal matiin pengeras suara kalau terpilih.
Namun, Pak Park tetap optimis. “Hal baiknya, pemerintah Korea Utara gak bisa ngerasukin pikiran masyarakat dan ngambil informasi yang udah terkumpul selama bertahun-tahun,” katanya.
Dan seiring teknologi makin maju, dia yakin penyebaran informasi bakal makin gampang. “Jangka panjang, aku bener-bener percaya ini bakal jadi hal yang mengubah Korea Utara.”
Gimana, sudah lebih baik lagi? Ada lagi yang mau dibikin makin asyik?