mustikatimes.com– Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) merupakan simbol negara dalam menjaga dan mengembangkan peradaban literasi. Berdiri tegak di Jakarta dengan gedung 24 lantai yang disebut sebagai perpustakaan tertinggi di dunia, Perpusnas bukan hanya sekadar tempat menyimpan buku, melainkan pusat dokumentasi pengetahuan bangsadari manuskrip kuno hingga jurnal ilmiah modern.
Namun demikian, di tengah kebanggaan itu, muncul pertanyaan penting: apakah perpustakaan ini sudah benar-benar hadir dan relevan bagi seluruh rakyat Indonesia?
Perpusnas memang telah melakukan banyak inisiatif digital seperti iPusnas (aplikasi buku digital), akses e-journal, dan koleksi daring yang dapat diakses gratis. Ini langkah penting, apalagi mengingat luasnya wilayah Indonesia dan kesenjangan akses literatur di daerah-daerah.
Menurut Aminudin, untuk memfasilitasi dan mengawal pembangunan kualitas manusia Indonesia melalui kecakapan literasi, perlu adanya kerja sama dengan berbagai pihak. Baik itu lembaga pemerintah, swasta, akademisi, maupun dunia usaha.
“Saya mengapresiasi inisiatif di tengah kebijakan efisiensi ini. Kita tidak tergerus oleh itu, tetapi tetap mengutamakan pelayanan seoptimal mungkin dengan membuat terobosan akses informasi yang terintegrasi, menambah sumber bacaan elektronik yang tersedia di laman e-Resources Perpusnas,” ujarnya dalam kegiatan saat sosialisasi E-Resources Perpusnas Rabu, 12 Maret 2025 lalu.
Tapi tantangan sesungguhnya bukan hanya soal akses fisik atau digital, melainkan budaya baca yang belum mengakar kuat. Banyak masyarakat, terutama di luar kota besar, belum memandang membaca sebagai bagian dari gaya hidup atau kebutuhan.
Perpustakaan nasional seharusnya tak hanya menjadi tempat membaca dan menyimpan buku, tetapi juga pusat interaksi kultural dan edukatif. Kolaborasi dengan sekolah, komunitas literasi, kampus, hingga pesantren harus diperluas.
Perpusnas harus semakin keluar dari gedungnya dan masuk ke kampung-kampung, desa-desa, dan ruang digital anak muda.
Ada potensi besar di sana. Anak muda Indonesia haus akan pengetahuan, tapi sering tersesat dalam banjir informasi digital yang belum tentu valid. Di sinilah Perpusnas bisa berperan sebagai penjaga kualitas informasi—menjadi rujukan terpercaya di tengah era post-truth.
Harapan ke depan adalah agar Perpustakaan Nasional bukan hanya menjadi monumen pengetahuan, tapi juga motor gerakan literasi nasional yang aktif, dekat dengan masyarakat, dan mampu beradaptasi dengan zaman. Karena bangsa yang besar bukan hanya yang kuat secara ekonomi, tapi juga yang tercerahkan secara intelektual.