Ekonomi & Bisnis Suara Warga
Beranda » Mustika » Gaji Pas-Pasan, Kerja Keras: Mampukah Indonesia Atasi Derita Pekerja?

Gaji Pas-Pasan, Kerja Keras: Mampukah Indonesia Atasi Derita Pekerja?

mustikatimes.com- Jumlah pekerja bergaji di bawah upah minimum / gaji pas-pasan terus melonjak. Ini potret nyata dunia kerja di Indonesia yang memunculkan pertanyaan: ada apa dengan negara kita?

Sulitnya Anak Muda Mencari Kerja Layak

Kondisi ekonomi yang tidak menentu membuat banyak anak muda kesulitan. Mereka sering tidak punya pilihan selain segera masuk ke dunia kerja.

Mahasiswa KKN UIN Walisongo Warnai Haul Simbah Cikal Bakal di Krajan

CELIOS dalam laporan terbarunya, mengkaji ketenagakerjaan di Indonesia. Laporan ini menyoroti pengangguran dan kualitas pekerjaan yang menurun.

Kelompok muda masih mendominasi angka pengangguran, dan banyak yang minim pengalaman kerja.

BPS mencatat, hingga Februari 2025, jumlah pengangguran di Indonesia bertambah 83.450 orang. Totalnya mencapai 7,28 juta orang!

Clash of Legends Real Madrid vs Barcelona Siap Guncang GBK 27 September 2025

Meski begitu, tingkat pengangguran terbuka (TPT) Februari 2025 tercatat 4,76%, sedikit lebih rendah dari tahun sebelumnya.

Upah di Bawah Standar: Realita Pahit Pekerja

Kualitas pekerjaan memang menurun. Data CELIOS menunjukkan, proporsi pekerja yang menerima upah di bawah UMR melonjak dari 63% (2021) menjadi 84% (2024). Artinya, delapan dari sepuluh pekerja Indonesia kini menerima gaji pas-pasan dan di bawah standar hidup layak!

“109 juta pekerja diupah di bawah UMR. 25 juta bekerja lebih dari 48 jam,” kata CELIOS.

Rupiah Melemah Tajam Pasca Keputusan Kebijakan Terbaru The Fed dalam FOMC

Kondisi ini memburuk karena dominasi sektor informal dan pekerjaan bergaji rendah. Sektor ini menyerap banyak tenaga kerja, namun memperpanjang kerentanan ekonomi.

Pekerja underworked (kurang dari 30 jam/minggu) dan overworked (lebih dari 48 jam/minggu) sama-sama merasakan dampak upah rendah.

Selain itu, jumlah pekerja yang tidak dibayar terus meningkat, terutama di sektor pertanian dan perdagangan. Ini menandakan kegagalan struktural dalam menciptakan pekerjaan layak.

Sektor padat karya seperti perdagangan dan pertanian juga rentan terhadap PHK dan kebangkrutan.

Beban Berat Pekerja Informal: Kasus Pengemudi Ojol

Mayoritas tenaga kerja Indonesia bergantung pada sektor informal, sekitar 86,58 juta orang per Februari 2025.

Laporan CELIOS mengungkap beratnya kerja di sektor informal berbasis platform digital, khususnya pengemudi ojek online (ojol). Meskipun dianggap solusi, mereka menghadapi beban kerja signifikan.

Rata-rata jam kerja pengemudi ojol mencapai 54,5 jam per minggu jauh melampaui rata-rata pekerja nasional (41,5 jam/minggu). Gaji bulanan ojol sekitar Rp2,84 juta, mirip pekerja formal, tetapi jam kerjanya jauh lebih panjang.

Survei IDEAS (2023) juga menemukan pendapatan kotor bulanan pengemudi ojol masih di bawah Upah Minimum Kota (UMK). Contohnya di Bekasi, mereka hanya menerima sekitar 79% dari UMK yang ditetapkan.

Akar Masalah: Pandangan Pakar Bhima Yudhistira

Direktur CELIOS, Bhima Yudhistira, menjelaskan mengapa lonjakan pekerja bergaji di bawah upah minimum terjadi:

  1. Keterbatasan Lapangan Kerja: Banyak pekerja terpaksa menerima upah rendah karena terbatasnya lapangan kerja.
  2. Pergeseran ke Sektor Informal: Pasca PHK, banyak yang beralih ke sektor informal. Di sini, jam kerja lebih panjang, tapi upah lebih rendah.
  3. Penegakan Hukum Lemah: Kurangnya penegakan hukum terhadap pelanggaran upah minimum membuat pengusaha nakal leluasa menekan upah pekerja.
  4. Maraknya Union Busting: Perusahaan sering menghalangi serikat pekerja, sehingga isu upah layak sulit diperjuangkan.
  5. Normalisasi Upah di Bawah Standar: Di beberapa wilayah industri padat karya, upah di bawah standar menjadi hal biasa tanpa tindakan pemerintah.

Ancaman Jangka Panjang: Bonus Demografi dan Kesehatan Mental

Jika situasi ini terus berlanjut, dampaknya sangat serius:

  • Kualitas Hidup Menurun: Masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhan dasar karena upah rendah, termasuk makanan, sewa rumah, dan pendidikan.
  • Ancaman Bonus Demografi: Setiap tahun ada tambahan angkatan kerja baru. Namun, jika tidak ada pekerjaan layak, bonus demografi bisa berubah menjadi bencana sosial. Ketimpangan pendapatan akan semakin melebar.
  • Kesehatan Mental Terganggu: Kondisi kerja tidak layak membawa konsekuensi serius, terutama bagi generasi muda. Stres berkepanjangan, depresi, hingga masalah sosial seperti kriminalitas dan perceraian bisa muncul.

Solusi dan Harapan dari Pemerintah

Lalu, apa yang harus pemerintah lakukan? Bhima Yudhistira menegaskan perlunya intervensi kebijakan yang serius:

  1. Prioritas Lapangan Kerja Formal: Pemerintah harus membuka lebih banyak lapangan kerja formal karena regulasi lebih mudah ditegakkan.
  2. Atur Sektor Gig Economy: Perusahaan aplikator harus memanusiakan pekerja, memastikan upah layak dan pembatasan jam kerja.
  3. Penegakan Sanksi Tegas: Hukum pengusaha yang melanggar ketentuan upah minimum.
  4. Stimulus Sektor Formal: Pemerintah harus lebih aktif mendorong belanja negara ke sektor usaha formal untuk menciptakan lapangan kerja.

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) juga sudah menyiapkan strategi, seperti pembentukan Satgas PHK dan larangan diskriminasi dalam rekrutmen tenaga kerja (usia, penampilan, status pernikahan, dll.).

“Surat edaran ini mempertegas komitmen pemerintah terhadap prinsip non-diskriminasi dan memberikan pedoman yang jelas agar rekrutmen kerja dilakukan secara objektif dan adil,” kata Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli.

Bagaimana menurut Anda, Sobat? Akankah kondisi dunia kerja di Indonesia dengan gaji pas-pasan ini membaik dengan strategi yang ada? Yuk, berikan pendapat Anda di kolom komentar!

Artikel Terkait