mustikatimes.com- Di tengah hiruk-pikuk Jakarta yang nggak pernah istirahat, ada satu tempat di Pasar Santa yang punya vibe beda. Deretan toko vinyl berjejer rapi di lantai satu pasar ini. Di sana, waktu seolah bergerak lebih pelan daripada denyut kota metropolitan.
Vinyl bukan cuma soal musik, tapi juga tentang pengalaman yang menjembatani generasi dan latar belakang. Di antara rak-rak kayu penuh piringan hitam dari berbagai genre, semua orang dari anak muda sampai orang tua—asyik banget ngulik album. Mereka juga berbagi cerita di balik lagu, dan ngobrolin musik yang timeless.
Di sudut pasar ini, toko kecil bernama Laidback Blues Record Store memancarkan aroma nostalgia. Toko ini sempat viral pas Ed Sheeran mampir tahun lalu.
Dayan, anak muda yang jadi bagian dari Laidback Blues Record Store, setuju kalau minat orang sama piringan hitam lagi naik daun banget belakangan ini.
Dayan melihat sendiri perubahan zaman yang nggak terduga: di tengah era digital musik yang serba instan, banyak anak muda sekarang justru mulai ngelirik lagi media fisik kayak vinyl, kaset, bahkan compact disc (CD).
“Menurut gue, penjualan vinyl sekarang malah naik. Entah kenapa, rasanya zaman ini seperti berputar balik,” ujarnya santai waktu kami temui di Pasar Santa, Rabu (28/5/2025).
Kenapa Generasi Sekarang Suka Vinyl?
Dayan bilang, berbagai kalangan terutama anak muda (Gen Z) mulai ramai datang ke toko vinyl. Mereka datang bukan cuma buat beli, tapi juga sekadar pengen tahu, belajar, atau nikmatin suasananya.
Mereka menemukan kebanggaan dan kedekatan emosional saat punya karya musik secara fisik. Itu sesuatu yang nggak tergantikan sama rilisan digital. Yang menarik, banyak anak muda justru tertarik sama lagu-lagu lawas.
“Rasanya beda banget punya karya fisik dibanding digital. Kayak beli kaos band, vinyl itu cara lain buat support langsung musisinya,” jelas Dayan.
Kami ketemu Andrean, pemuda 23 tahun asal Jakarta Timur. Ia kelihatan khusyuk bolak-balik rak piringan hitam di salah satu sudut toko.
Buat Andre begitu dia biasa disapa vinyl bukan sekadar medium musik. Ini pintu nostalgia yang ngebawa dia pulang ke masa kecil. Ayahnya adalah seorang kolektor piringan hitam, jadi dari kecil, alunan musik dari piringan hitam sudah akrab di rumahnya.
“Secara musikal gue pribadi ngerasa rasanya beda sama dengerin musik lewat streaming atau digital. Apalagi ini bentuknya fisik, lebih klasik, bisa dikoleksi dan dipajang di rumah. Dibanding kaset atau CD, vinyl lebih berasa nostalgia dan punya nilai sejarah aja sih,” ujar Andre waktu cerita ke kami, Rabu (28/5/2025).
Andre tumbuh dalam suasana musik analog. Ia kembali ngelirik vinyl beberapa tahun terakhir. Awalnya ia cuma penikmat musik digital biasa. Namun, seiring waktu, tren vinyl yang kembali menggeliat pelan-pelan menariknya untuk serius mengoleksi piringan hitam.
Vinyl: Lebih dari Sekadar Hobi, Ini Investasi dan Pelestarian Sejarah
Bagi Andre, ngoleksi vinyl bukan cuma ngikutin tren. Melalui kecintaannya sama piringan hitam, dia pengen ikut ngelestariin warisan musik ini di Indonesia.
“Semoga anak muda bisa lebih kenal dan peduli. Terutama bisa ngerawat juga kaset-kaset musik lawas Indonesia. Menurut gue, ini bagian dari sejarah musik di Indonesia,” katanya.
Parkodi, anak muda lain yang juga suka piringan hitam, punya pandangan serupa. Baginya, ngoleksi vinyl bukan cuma hobi, tapi perjalanan personal yang dimulai hampir satu dekade lalu.
Dia mulai beli rilisan fisik sejak 2016. Awalnya dia tertarik sama kaset dan CD. Namun, seiring waktu, piringan hitam menawarkan sesuatu yang beda: pengalaman yang lebih nyata dan sentimental.
“Seru aja rasanya bisa megang langsung rilisan terus baca lirik di cover-nya. Secara fisik bentuknya juga bagus dan buat dipajang juga oke,” ujarnya waktu cerita ke kami, Rabu (28/5/2025).
Parkodi masih inget banget piringan hitam pertamanya. Itu milik band The Mercy’s, salah satu band kondang di Indonesia era 1960-1970-an. Sejak itu, koleksinya berkembang dari pilihan acak jadi lebih terarah.
Sekarang, dia fokus sama rilisan reggae dan rocksteady era 60-an. Dia juga ngoleksi beberapa nama besar dari skena alternatif kayak The Smashing Pumpkins dan My Bloody Valentine.
Nilai Sejarah dan Potensi Investasi Vinyl
Bagi Parkodi, seorang pekerja kreatif, piringan hitam punya arti dan makna tersendiri yang nggak dimiliki format digital: daya simpan sejarah dan nilai investasi.
“Vinyl tuh bisa jadi investasi, walau nyebutnya ‘investasi bodong’. Tapi tetep aja, misalnya udah bosen atau butuh uang (BU), bisa dijual lagi. Harganya biasanya lebih mahal, apalagi kalo koleksi langka. Tinggal mau ngejual apa enggak,” katanya.
Parkodi juga menyebut album Guruh Gypsy sebagai salah satu impian terbesarnya—rilisan legendaris yang belum dia punya. Dia terus ngejar album itu sebagai “penutup” perjalanan panjangnya sebagai kolektor.
Guruh Gipsy adalah satu-satunya album kolaborasi Guruh Soekarnoputra dan band Gipsy pada tahun 1977. Majalah Rolling Stone Indonesia menobatkan album Guruh Gipsy sebagai album terbaik kedua di Indonesia, setelah album Badai Pasti Berlalu milik Chrisye.
Peran Media Sosial dan Dorongan Industri Lokal
Kami juga ngobrol sama Miko Andrean, seorang kolektor sekaligus pegiat musik. Miko dikenal karena kecintaannya sama piringan hitam. Dia juga sosok penting di balik toko vinyl ‘33rpm_’ yang kini jadi referensi penting buat para penikmat musik analog di Indonesia.
Menurut Miko, media sosial punya peran penting di balik tren minat masyarakat terhadap piringan hitam yang belakangan ini meningkat. Medsos bukan cuma alat promosi, tapi juga ruang bercerita. Orang bisa pamer koleksi vinyl, berbagi pengalaman dengerin musik klasik, dan ngenalin piringan hitam ke khalayak yang lebih luas.
“Selain media sosial, dulu sebenarnya ada event tahunan namanya Retro Store Day tahun 2012. Pertama kali diadakan di Kemang. Namun, event itu dulu yang datang kalangan itu-itu saja karena lingkupnya masih kecil. Piringan hitam waktu itu masih tergolong mahal karena kita masih impor,” ujar Miko saat cerita ke kami, Kamis (29/5/2025).
Miko menambahkan, kembalinya tren piringan hitam nggak cuma ngehidupin lagi gairah para kolektor, tapi juga ngegerakin industri musik Indonesia. “Banyak musisi lokal, baik independen maupun major, sekarang mulai rilis album dalam format vinyl,” ujarnya.
Piringan Hitam Records (PHR), yang awalnya toko vinyl, merilis label bernama Master Sounds dua tahun lalu. Pada 2023, label itu berhasil menghadirkan mesin duplikasi vinyl di Indonesia. Ini langkah awal penting dalam membangun ekosistem rilisan fisik yang lebih berkelanjutan.
“Bisnis record label atau rilisan piringan hitam itu butuh yang namanya minimum order. Piringan hitam perlu dicetak banyak buat kita distribusikan dan jual. Jadi, menurut saya, sekarang ini positif banget. Mereka (PHR) mempermudah kita sebagai industri piringan hitam atau musik,” kata Miko.
Gen Z: Mawar di Antara Gurun Digital
Kebangkitan vinyl nggak cuma didorong sama industri. Ada kekuatan besar lain di baliknya: rasa penasaran dan semangat eksplorasi generasi muda, khususnya Gen Z. Mereka tumbuh di era serba digital, tapi justru dari sanalah muncul dorongan buat nyari sesuatu yang beda.
“Mereka nggak tumbuh dengan kaset, tapi langsung lompat ke era streaming. Menurut saya, Gen Z yang milih vinyl itu keren sih. Mereka punya jiwa kayak, ya gue mau berbeda nih daripada yang lain,” ujar Miko.
Dengan akses internet tak terbatas, mereka bisa nyari tahu tentang musik dari era ’50-an sampai ’80-an cuma dalam hitungan detik. Yang bikin kaget, banyak dari mereka bener-bener mendalami—bukan sekadar ikut-ikutan. “Bahkan pengetahuan musiknya bisa lebih luas dari generasi sebelumnya,” tambah Miko.
Tren Global dan Rekor Penjualan Vinyl yang Makin Gila
Di Indonesia sendiri, belum ada data resmi yang ngerekam peningkatan penjualan piringan hitam. Namun, tren penjualan vinyl memang meningkat di level global beberapa tahun terakhir.
Menurut laporan tahunan dari Recording Industry Association of America (RIAA), pada tahun 2024 industri musik AS mencatatkan rekor pendapatan sebesar 17,7 miliar dolar AS. Vinyl jadi salah satu pendorong utama pertumbuhannya.
Data lain dari New York Post menunjukkan, penjualan vinyl naik 7 persen dibanding tahun sebelumnya. Pendapatan mencapai 1,4 miliar dolar AS dengan jumlah unit yang terjual mencapai 44 juta. Angka ini mengalahkan CD yang hanya 33 juta unit terjual.
Taylor Swift memecahkan rekor penjualan. Dia berhasil menjual 700.000 kopi album “The Tortured Poets Department” dalam tiga hari pada April 2024. Penjualannya menyumbang 7 persen dari total penjualan vinyl tahun itu.