Jakarta, Mustikatimes.com– Bayangkan seorang tokoh yang fasih membaca Al-Qur’an, menulis puisi, bermain teater, sekaligus mengkritik Orde Baru, reformasi, bahkan Presiden Jokowi dan oposisi. Namun, di malam harinya, ia masih dengan lembut menyuapi cucu dan berzikir pelan. Sosok ini bukanlah karakter fiksi, dia adalah Emha Ainun Nadjib, yang akrab kita sapa Cak Nun.
Jika namanya terdengar asing bagimu, itu wajar. Pasalnya, Cak Nun bukanlah selebriti agama, bukan produk algoritma media sosial, dan jelas bukan komoditas politik yang bisa laku setiap musim pemilu. Ia tidak pernah mengemis panggung, apalagi berebut mikrofon. Yang paling penting, Cak Nun tidak pernah ‘menjual Tuhan’ demi kepentingan politik.
Cak Nun: Penjaga Kapal Bangsa dari Keramaian Politik
Jika Indonesia kita ibaratkan kapal laut, Cak Nun bukanlah nahkoda yang gagah berdiri di atas geladak. Ia justru diam-diam menambah lambung kapal dengan tangan kosong.
Tujuannya agar rakyat kecil tidak tenggelam lebih dulu. Bukan karena dia kuat, tetapi karena ia tahu, jika kapal ini bocor, yang pertama tenggelam bukanlah pejabat, melainkan rakyat yang tinggal di pinggiran sungai atau tidur di kolong jembatan.
Cak Nun tentu bukan nama baru di mata publik Indonesia. Namun, ia juga bukan nama lama yang sudah habis masa pakainya. Ia seperti sumur tua di tengah kampung yang perlahan orang lupakan. Sampai suatu hari listrik padam, air keruh, barulah orang sadar: sumur ini masih menyimpan mata air yang tak pernah kering.
Saat orang mulai kembali menimba pelan-pelan, mereka sadar sumur ini bukan cuma tempat mengambil air. Ini juga tempat bertukar kabar, bertanya arah, atau menenangkan hati yang goyah.
Maka wajar, banyak orang memanggilnya dengan sebutan berbeda: ada yang menyebut cendekiawan, seniman, budayawan. Namun, sebagian besar memanggilnya “Cak”, dan belakangan “Mbah”. Panggilan sederhana ini membuatnya terasa dekat, seperti teman, tetangga, atau bahkan seorang bapak.
Lahir dari Pesantren, Berpikir Sejauh Jalanan Mojokerto
Cak Nun lahir di Jombang pada tahun 1953, tumbuh dalam tradisi pesantren. Namun, ia berkembang dengan pemikiran sekeras jalanan Mojokerto saat musim hujan. Ia berani berbeda sejak muda.
Cak Nun bukanlah alumni Al-Azhar atau jebolan Madinah. Ia bukan pula tokoh yang orang sambut dengan karpet merah atau embel-embel Kiai Haji di depan namanya.
Akan tetapi, jika kamu bertanya pada anak muda yang bimbang, ibu-ibu yang lelah, atau bapak-bapak yang hampir menyerah, mereka justru akan menyebut satu nama yang membuat mereka merasa tidak sendirian di dunia yang terasa banal: Cak Nun.
Dari Jogja ke Jakarta, dari puisi ke musik, dari politik ke spiritualitas, Cak Nun menulis bukan untuk orang kenang, tetapi untuk mengingatkan. Apinya tak pernah padam karena yang ia bakar bukan panggung atau kekuasaan, melainkan kesunyian dalam dada yang lupa cara mencintai sesama.
Menjadi Cermin, Bukan Mimbar
“Saya ini bukan ustaz, bukan kiai, apalagi politisi. Saya cuma orang yang ingin belajar bersama manusia lain,” begitu ia sering berkata. Namun, justru karena ia tidak mengklaim posisi tinggi, banyak orang datang kepadanya.
Bukan hanya orang miskin dan terpinggirkan, melainkan juga pejabat, menteri, presiden, bahkan jenderal. Mereka datang bukan untuk dipuji, tetapi untuk dimintai pertanggungjawaban.
Sebab, Cak Nun tidak menyediakan panggung, ia menyediakan cermin. Siapa pun yang duduk di hadapannya, entah rakyat atau penguasa, akan ia paksa melihat wajahnya sendiri tanpa topeng.
Jika kita ibaratkan barang, Cak Nun itu seperti lemari tua di rumah nenek. Isinya bukan baju mahal, melainkan serpihan sejarah Indonesia dari sisi yang sering orang singkirkan. Ada cerita orang hilang karena diculik, ada puisi yang disensor, ada surat cinta yang tak pernah negara balas. Semua itu ia rawat bukan untuk orang kenang, melainkan untuk orang ingat agar tidak terulang.
“Jembatan”, Bukan Sekadar “Pagar”
Banyak orang menyebut Cak Nun abu-abu, terlalu netral, tidak tegas. Namun, barangkali mereka keliru mengira bahwa diam itu pasif, atau tidak berpihak berarti tidak peduli. Padahal, kadang seseorang duduk di tengah bukan karena bingung memilih, melainkan karena ingin menjadi jembatan, bukan pagar.
Di negeri yang terlampau kacau ini, menjadi jembatan adalah pekerjaan paling berbahaya. Jika kamu tidak ikut berteriak, orang mencurigaimu diam-diam berpihak. Jika kamu berusaha mendengar dua sisi, orang menuduhmu licik.
Meski begitu, Cak Nun tetap berada di posisi itu. Ia ngobrol dengan petani, mendengarkan cerita tukang becak, menonton anak pengamen, lalu mereka ajak berdiskusi soal keberagaman.
Tapi jangan salah, yang datang menemuinya juga bukan cuma rakyat kecil. Terkadang menteri datang, terkadang jenderal ikut duduk menyimak. Namun, Cak Nun tetap memakai sarung, tetap minum kopi dari gelas plastik. Karena bagi Cak Nun, semua orang, besar atau kecil, berhak merasa tidak sendirian di negeri yang terlalu suka menghitung tapi malas mendengar.
Kritik Halus yang Menusuk Hati Penguasa
Di balik tikar yang terlihat sederhana itu, ada satu hal yang diam-diam membuat penguasa resah. Sejak era Orde Baru, Cak Nun sudah menjadi duri dalam tenggorokan kekuasaan. Bukan karena ia berteriak di jalan, melainkan karena puisinya menyusup ke batin pendengar. Cak Nun tidak melawan dengan marah. I
a melawan dengan doa yang ia selipkan dalam puisi, dengan luka yang ia jahit menjadi sajak. Ini agar kekuasaan tahu, rakyat bisa menangis tanpa membuat kerusuhan.
Dari puisinya itulah penguasa Orde Baru merasa “gatal-gatal”. Sebab, puisinya bukan sekadar estetika, melainkan manifesto rakyat kecil yang tidak pernah mendapat mimbar. “Negara ini punya banyak dalil tapi sedikit keadilan,” tulisnya dalam satu esai.
Cak Nun jelas bukan anti-negara. Ia justru mencintai negeri ini seperti orang tua mencintai anak yang bandel keterlaluan. Bukan dengan membela setiap kelakuannya, melainkan dengan berani berkata, “Nak, kamu menyakiti banyak orang dan kamu harus minta maaf.” Karena bagi Cak Nun, cinta pada tanah air bukan soal hormat bendera setiap Senin pagi, melainkan soal berani menunjuk wajah negara dan mengatakan bahwa yang kamu sakiti itu bukan angka statistik, tetapi manusia.
Kadang cinta paling tulus justru ia tunjukkan dengan menjauh, bukan kabur. Semua ini ia lakukan agar negara belajar berjalan sendiri dan merasakan kesepian setelah mengabaikan rakyatnya sendiri.
Maiyah: Peradaban Kecil di Tengah Kebisingan
Maka jangan heran kalau Cak Nun selalu berada di luar lingkar kekuasaan. Namun, jangan salah tafsir: menjauh bukan berarti melawan. Tidak berebut kursi bukan berarti anti pada kekuasaan. Jika kekuasaan butuh telinga, Cak Nun selalu siap mendengarkan.
Saat orang sibuk menyinyiri pemerintah di media sosial, Cak Nun memilih mendidik rakyat agar tidak mudah terbujuk. Baginya, politik itu penting, tetapi tidak segala-galanya. Karena, yang bisa menyelamatkan negeri ini bukan cuma kabinet, melainkan komunitas yang waras dan sadar makna hidup.
Maka dari itu, Cak Nun tidak pernah mendaftar partai. Namun, ironisnya, semua partai pernah mencari berkahnya. Semua presiden pernah mengunjunginya, dari Gus Dur, SBY, sampai Jokowi. Namun, Cak Nun tetap berdiri di tempat yang sama: di antara rakyat yang tidak tahu harus berharap pada siapa.
Bukan cuma kekuasaan yang datang, umat pun datang dalam segala kebingungan. Di negeri yang sibuk menyortir mana Islam moderat, radikal, Islam Nusantara, atau yang 212, Cak Nun sekali lagi meneguhkan ketengahannya. Ia justru duduk di luar klasifikasi itu semua.
Cak Nun tidak ikut parade, tidak menulis manifesto, tidak berebut label “paling ahlusunah”. Bagi Cak Nun, agama itu bukan alat tebang, melainkan ladang tumbuh. Bukan palu, melainkan tangan; bukan bendera, melainkan cahaya kecil yang kamu bawa di malam saat listrik padam.
Di saat banyak ustaz membuat pengajian seperti presentasi PowerPoint anak kuliahan, Cak Nun justru membuat pengajian seperti camping spiritual di tengah kebisingan. Tidak ada tafsir satu arah, tidak ada ancaman dosa jika kamu bertanya. Tidak ada pemaksaan tobat. Yang ada diskusi, tanya jawab, musik, tawa kecil, dan doa yang keluar dari dada yang tidak merasa paling bersinar.
Coba cari di belahan dunia, mana ada forum yang dihadiri ribuan orang dari sore sampai subuh tanpa panggung mewah, tanpa iklan rokok, tanpa tiket, tanpa pengamanan polisi, dan yang pulang membawa senyum kebermaknaan? Itulah Maiyah.
Forum ini Cak Nun bangun sejak akhir 1990-an. Mulanya dari Padang Bulan di Jombang, sebuah tikar sederhana yang perlahan menjalar ke Mocopat Syafaat di Yogyakarta, Kenduri Cinta di Jakarta, Bangbang Wetan di Surabaya, dan puluhan titik Maiyah lainnya. S
emua ini lahir bukan dari dana hibah, melainkan dari kerinduan. Ini bukan sekadar pengajian, melainkan peradaban kecil yang perlahan-lahan mereka rintis.
Jika demokrasi hari ini adalah konser rock bising, gaduh, penuh sorak, dan caci maki dari panggung maka Maiyah adalah suara gesekan biola di sudut ruangan. Suara itu hanya terdengar jika kamu bersedia diam. Di Maiyah, tidak ada yang diagungkan. Semua duduk sama rata.
Orang miskin bisa berdebat tafsir dengan akademisi. Pemuda punk bisa bernyanyi bareng santri. Perempuan-perempuan yang lelah menghadapi patriarki di rumah bisa menangis pelan saat mendengar puisi. Dan anak-anak bisa belajar tentang cinta tanpa takut ditanya usianya.
Maiyah bukan organisasi, bukan ormas, bukan sekte. Ia tidak punya struktur, tidak ada formasi. Namun, ia punya napas yang sama: “Kita berkumpul bukan untuk menyalahkan, tapi untuk mengingat bahwa hidup masih bisa dibawa pulang dengan damai.” Jika kamu datang ke Maiyah, kamu akan melihat orang dari berbagai rupa: santri, pemuda bertato, aktivis, anak punk, ibu-ibu pengajian, mualaf, bahkan ada yang belum yakin ia percaya atau sekadar ikut-ikutan.
Semua duduk setara. Karena di Maiyah, iman tidak orang pamerkan, tetapi orang rawat bersama. Di sana, Tuhan tidak menakutkan, dan manusia diajak berpikir tanpa harus kehilangan iman.
Dalam menjalankan Maiyah, Cak Nun percaya bahwa Tuhan itu bukan algoritma. Tuhan tidak menilai umatnya dari seberapa viral umatnya membela agama. Di zaman ketika selebgram lebih orang dengar daripada sastrawan, Cak Nun jadi seperti kaset pita di era Spotify. Mungkin kuno, tetapi tetap mengandung suara jernih yang algoritma tidak bisa rekayasa.
Cak Nun juga tidak pernah meneriakkan “kembali ke Quran dan sunah”. Ia justru bertanya, “Kalau kamu sudah kembali, kenapa kamu masih meninggalkan rasa iba kepada yang kalah?” Di tengah negeri yang makin hobi menyalahkan, Maiyah mengingatkan, “Kita semua pernah jadi pecundang, tetapi tidak semua orang tahu cara berdamai dengan kesalahan.”
Cak Nun bukan ahli fikih. Namun, ia tahu kapan seseorang butuh pelukan sebelum jatuh ke jurang kehilangan iman. Ia tidak hafal ribuan hadis. Namun, ia tahu mana luka yang perlu didengarkan sebelum diberi dalil.
Dalam dunia yang penuh poster, ceramah, dan dakwah berbayar, Cak Nun cuma menyodorkan satu tikar, satu gitar, dan satu kalimat yang kadang jadi jaring bagi orang-orang yang nyaris tenggelam: “Kalau kamu tidak tahu harus percaya siapa, percayalah dulu bahwa kamu masih bernilai.”
Jika agama adalah api, maka Cak Nun adalah air hujan yang jatuh perlahan. Bukan untuk memadamkan, melainkan untuk mengingatkan bahwa panas itu bukan satu-satunya cara agar dunia ini kerasan.
Sebab, dalam tafsir Cak Nun, agama bukan proyek kekuasaan, bukan alat branding caleg, bukan bendera yang orang arak sambil menyumpahi tetangga. Agama itu cermin kecil yang kamu bawa diam-diam. Bukan untuk menilai orang lain, melainkan untuk mengecek masih jadi manusia atau sudah jadi setan yang mengaku-ngaku utusan Tuhan.
Kritik yang Menyembuhkan, Bukan Memarahi
Di zaman ketika kritik berarti viral dan keberanian orang ukur dari jumlah retweet, Cak Nun memilih jalan sunyi. Ia mengkritik bukan untuk tampil, melainkan untuk menyembuhkan.
Jika Rocky Gerung mengkritik lewat diksi akal sehat, maka Cak Nun mengkritik pakai akal selamat. Bedanya, satu mengajak berpikir, satu mengajak merenung. Namun, keduanya sepakat: kekuasaan itu jika tidak orang pantau bisa jadi berhala.
Kritik Cak Nun adalah bentuk keberanian yang langka. Ia tidak menyelamatkan diri sendiri. Ia justru mengajak kita menyelamatkan kewarasan bersama.
Ketika semua orang marah-marah dan berebutan kamera, Cak Nun akan duduk di pojokan dan berkata, “Kalau kamu benci negara ini, pastikan kamu tidak ikut membuatnya tambah hina.”
Tapi sekali lagi, Cak Nun bukan anti-negara. Ia tidak pernah bilang, “Ayo turun ke jalan!” Ia justru bertanya perlahan, “Sudahkah kamu bersihkan hatimu sebelum teriak minta keadilan?” Pertanyaan ini lebih menohok daripada semprotan water canon di depan gedung pemerintahan. Sebab, ia tahu negara ini sering berjalan tanpa rem dan kadang sopirnya mabuk kuasa.
Cak Nun tidak pernah sibuk menggulingkan negara. Ia justru mengingatkan bahwa negara pun butuh asmaul husna. Karena, kekuasaan yang lupa Tuhan, cepat atau lambat pasti rakyat atau karma kudeta.
Di negeri yang mengira kemarahan adalah satu-satunya bentuk keberanian, Cak Nun datang membawa kesabaran sebagai bentuk lain dari perlawanan. Ia bukan aktivis jalanan, bukan orator demo, bukan pemaki rezim.
Namun jangan salah, kritiknya seperti angin malam yang menusuk ke dada dengan cara yang pelan, dalam, dan menusuk sampai ke sumsum tulang. Kekuatannya bukan cuma di kata-kata, tapi juga di cara hadirnya yang tak biasa.
Ia bukan penulis buku best-seller. Namun, tulisannya tak pernah kadaluarsa. Ia tidak tampil di talk show TV tiap minggu. Namun, ribuan orang datang ke tanah lapang tanpa panggung tinggi, tanpa lampu sorot, tanpa MC. Cak Nun bukan ustaz yang bersabda dari balik mimbar. Ia lebih seperti tukang kayu yang membantu kamu memahami ukuran hidupmu sendiri.
Jika banyak tokoh ingin naik ke atas, Cak Nun justru memilih tetap di bawah, di tikar, di gang sempit, di warung kopi pinggir sawah. Katanya, dari bawah kamu bisa melihat langit lebih luas. Di saat semua orang ingin trending, dia malah sibuk mengajak orang untuk ‘mengendang’ tenang, lemah lembut. Sebab, kadang, katanya, yang ribut belum tentu benar, tetapi yang tenang belum tentu kalah.
Cak Nun mungkin bukan nabi. Namun, ia mewariskan cara manusia menatap langit tanpa perlu merasa paling tinggi. Jika suatu hari negeri ini makin gaduh, makin terbelah, makin kehabisan empati, maka ingatlah satu kalimat ini: “Jangan cari kebenaran untuk melukai. Cari dia untuk menjadi lebih layak dicintai.”
Begitulah kira-kira cara Cak Nun berbicara. Tidak menggurui, tidak menggugat, tidak berteriak soal akhlak. Namun, diam-diam menampar keras. Kadang seperti bapak tua yang sedang menyeruput kopi di pos ronda, kadang seperti filsuf Sokrates yang menyamar jadi tukang sol sepatu.
Mungkin karena alasan-alasan itu, Cak Nun adalah ironi di zaman ini. Ketika semua orang ingin cepat viral, ia malah sibuk menanam warisan yang hanya bisa orang rasakan pelan-pelan: warisan kerendahan hati, kesabaran berpikir, beragama tanpa merasa paling benar. Semua itu ia tanam perlahan, tanpa panggung, tanpa buzzer, cuma lewat tikar, kopi, dan kata-kata yang ia seduh pelan-pelan.
Kelak, ketika Cak Nun sudah tiada, mungkin kita baru benar-benar sadar apa yang ia tinggalkan. Bukan buku tebal atau patung peringatan, melainkan jejak tikar. Tempat kita pernah merasa aman, diajak berpikir tanpa dihakimi, diajak mencintai Tuhan tanpa harus menginjak-injak kemanusiaan.
Jika nanti malam terlalu sepi dan hidup terasa berat, ingatlah ada tikar yang pernah jadi tempatmu tidak pernah merasa sendiri. Sebab, di sanalah Cak Nun akan tetap tinggal: di tikar, di kata-kata yang pelan, di malam yang sepi, dan di hati rakyat kecil yang masih percaya bahwa satu kalimat jujur lebih kuat daripada satu juta kata yang dibayar.
Komentar