Blora, MUSTIKATIMES.COM – Dua peristiwa berbeda, namun sama-sama mengguncang ruang publik, kini menjadi bahan perbincangan hangat di tengah masyarakat Indonesia.
Satu sisi, publik ramai menyerukan boikot terhadap stasiun televisi Trans7, dan di sisi lain, muncul kasus kepala sekolah di Sukoharjo yang menampar siswanya.
Dua isu yang tampak tak berhubungan, namun sejatinya memperlihatkan satu hal yang sama krisis moral dan etika dalam ruang media dan pendidikan.
Isu boikot bermula dari tayangan Xpose Uncensored di Trans7 yang dinilai melecehkan martabat pondok pesantren. Dalam program itu, tradisi penghormatan santri kepada kiai digambarkan secara tidak pantas, hingga memicu gelombang kemarahan publik.
Media sosial pun riuh. Tagar #BoikotTrans7 menggema, disertai seruan dari para santri, alumni, dan organisasi Islam agar pihak stasiun televisi bertanggung jawab dan meminta maaf secara terbuka.
Sementara itu, dunia pendidikan kembali diuji dengan insiden di Sukoharjo, ketika seorang kepala sekolah menampar muridnya karena dianggap membangkang.
Sebagian pihak menyebutnya bentuk pendisiplinan, namun banyak pula yang menilai tindakan itu sudah tidak wajar di era pendidikan modern yang menjunjung nilai kemanusiaan dan dialog.
Pertanyaannya, ke mana arah moral bangsa ini akan berlabuh, ketika media dan pendidikan dua pilar peradaban mulai kehilangan etikanya?
Pertanyaan itulah yang kemudian menjadi bahan renungan dalam diskusi publik yang digelar oleh Pimpinan Komisariat IMM Ibnu An-Nafis Blora, pada Selasa, 21 Oktober 2025 di kampus STAI Muhammadiyah Blora.
Diskusi yang dimulai pukul 16.00 WIB itu menghadirkan antusiasme para kader, mahasiswa, dan pemerhati sosial yang peduli terhadap marwah pendidikan dan kebebasan media.
Dalam forum tersebut, Ketua IMM Ibnu An-Nafis, Ibnu Said, menegaskan bahwa pesantren bukanlah bentuk feodalisme atau perbudakan seperti yang digambarkan di media.
“Di pondok, santri bukan budak. Mereka adalah relawan ilmu, yang berkhidmat untuk meraih keberkahan dari kiai,” tegasnya.
Menurutnya, pengabdian santri adalah simbol adab dan cinta ilmu, bukan keterpaksaan.
IMM Ibnu An-Nafis Blora menegaskan komitmennya untuk terus mengawal isu-isu publik, terutama yang menyangkut etika media dan moral pendidikan.
Sebagai organisasi yang berlandaskan trilogi religiusitas, intelektualitas, dan humanitas, IMM bertekad menjadi garda moral bangsa yang kritis, solutif, dan berpihak pada kebenaran.
“Media harus kembali pada jati dirinya sebagai pilar keempat demokrasi, bukan sekadar alat hiburan yang menjual sensasi. Begitu pula pendidikan, jangan kehilangan roh kemanusiaannya,” tegas salah satu kader IMM dalam forum tersebut.
IMM berharap, dari momentum ini lahir kesadaran bersama bahwa boikot bukan sekadar bentuk kemarahan, dan tamparan bukan sekadar tindakan fisik, melainkan tamparan moral bagi kita semua agar kembali menegakkan nilai, etika, dan kemanusiaan dalam setiap ruang kehidupan.
Dengan begitu, fenomena ini bukan akhir dari sebuah kontroversi, tetapi awal dari kebangkitan kesadaran publik untuk memperbaiki arah media, pendidikan, dan bangsa.