mustikatimes.com– Sebuah pertunjukan kecil, bagai jendela kecil ke realita, mengungkap tirai masalah pelik yang menyelimuti industri rokok di Indonesia. (16/6/25).
Di sana, suara seorang pembicara, yang dulunya akrab dengan gulungan asap namun kini memilih jalan baru, menggema. Ia melayangkan tudingan: bukan kurangnya undang-undang yang menjadi akar masalah.
Sebaliknya, lenggannya tangan hukum dan kaburnya visi para regulator lah penyebab utamanya. Seolah sang waktu berdiri terpaku, menyaksikan derap langkah yang tak pasti dalam merajut nasib bangsa.
Ketika Kemasan Bicara Sama: Jeritan Industri dan Bayangan Rokok Ilegal
Ide pemerintah, laksana angin yang ingin merobek selimut kebiasaan, datang dengan rencana menyamakan semua kemasan rokok. Ini meniru jejak negeri Kangguru dan Britania Raya.
Namun demikian, sang pembicara mengangkat suara, menepis gagasan itu. “Ini bukan jembatan menuju nirwana pengurangan perokok,” katanya.
“Melainkan gerbang lebar bagi peredaran rokok ilegal.” Pasalnya, dalam seragam kemasan, monster ilegal itu akan lebih mudah menyelinap. Ia akan menebar jaringnya di setiap sudut pasar, memabukkan jiwa-jiwa yang haus harga murah.
Nadi Ekonomi Bangsa: Kisah Cukai dan Jutaan Nyawa yang Bertahan
Jauh di balik stigma, industri rokok di Indonesia sesungguhnya adalah nadi yang memompa darah perekonomian.
Bahkan, sumbangsih cukai rokok pada tahun 2023 mencapai angka fantastis, Rp286 triliun. Angka ini jauh melampaui riak dividen BUMN.

Kementerian Keuangan menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) Infografis: Asfahan Yahshi
Lebih dari itu, industri ini adalah peneduh bagi lebih dari 6 juta jiwa yang menggantungkan hidup padanya. Tembakau Nusantara, dengan kualitasnya yang diakui dunia, menari dalam harmoni sistem pengolahan dan distribusi yang kokoh.
Menariknya, para petani tembakau, tak seperti kisah pilu petani lain, justru menggenggam “kontrak pertanian” yang menjanjikan. Ini menjauhkan mereka dari bayang-bayang mafia dan preman.
Gelombang Perokok yang Tak Surut: Aturan Banyak, Penegakan Lemah
Meski nadinya vital bagi ekonomi, potret jumlah perokok di Indonesia memang memilukan. Terlebih lagi, perokok anak yang kian hari kian bertambah, bagai tunas-tunas rapuh yang terenggut sebelum mekar.
Indonesia adalah pemegang rekor perokok pria terbanyak sejagat. Lebih dari 70 juta jiwa tenggelam dalam kepulan asap. Akan tetapi, ini bukan cerita tentang tanah tandus regulasi.
Justru, negeri ini punya segudang aturan: cukai yang mencekik, batasan usia yang jelas, gambar peringatan yang meremang, rambu iklan yang ketat, larangan rokok eceran, hingga zona-zona bebas asap yang seharusnya menjadi oase.
Akar Masalah: Tangan Hukum yang Beku dan Maraknya Rokok Ilegal
Akar masalahnya, rupanya, bersembunyi dalam kelemahan penegakan hukum dan tumpulnya kinerja regulator.
Sebagai contoh konkret, aturan-aturan, seperti larangan menjual rokok pada anak di bawah umur, seringkali hanya menjadi tinta di atas kertas.
Mereka tak bertaring di lapangan. Alhasil, pemerintah, seolah terbius, gagal membendung laju industri rokok ilegal yang tumbuh subur, terutama di luar Jawa.
Ironisnya, kenaikan tarif cukai rokok, yang diharapkan meredam bara rokok, justru menjadi pemantik. Mereka beralih ke pelukan rokok ilegal yang lebih murah, bagai sungai yang mencari jalannya sendiri menuju dataran rendah.
Dilema Cukai dan Gelombang Rokok Ilegal: Sebuah Tragedi Ekonomi
Dalam kacamata ekonomi, rokok ibarat cinta yang inelastis dalam harga. Artinya, ketika harga melambung, cinta itu tak serta-merta padam.
Sebaliknya, ia mencari wajah lain yang lebih murah, termasuk wajah rokok ilegal yang kini menjadi primadona gelap.
Sebuah tragedi yang merugikan semua pihak: petani, konsumen, dan bahkan pemerintah yang harus rela kehilangan pendapatan cukai yang seharusnya menjadi darah pembangunan.
Seruan untuk Koordinasi dan Solusi yang Tegas
Suara pembicara juga menyoroti sumbatan komunikasi antar kementerian, terutama Kementerian Kesehatan. Mereka kurang koordinasi dalam merumuskan kebijakan baru ini.
Menurutnya, “Mengubah rupa kemasan tak akan mengubah jiwa yang telah terlanjur kecanduan.” Solusi yang ia gagas, bagai embun penyejuk di tengah kemarau: pemerintah harus menajamkan taringnya dalam menegakkan aturan yang sudah terukir.
Selanjutnya, memusnahkan rokok ilegal. Bukan malah menambah simpul benang yang kian ruwet. Singkatnya, ini adalah seruan untuk tangan hukum yang kokoh dan pemberantasan rokok ilegal yang tanpa kompromi, agar badai ini tak lagi menggulung masa depan.
Sorotan Utama: Bara Rokok dan Badai Kebijakan yang Salah Arah
- Aturan Bertaburan, Eksekusi Terbengkalai: Pemerintah Indonesia terjebak dalam labirin regulasi baru yang hampa. Mereka abai menancapkan penegakan hukum yang telah ada.
- Kemasan Seragam, Pintu Lebar bagi Ilegalitas: Ide penyamaan kemasan rokok adalah fatamorgana penurunan perokok. Ini justru membuka lebar pintu bagi peredaran rokok ilegal.
- Nadi Ekonomi yang Terluka: Industri rokok, sang penyumbang triliunan cukai dan jutaan lapangan kerja, kini dalam bayang-bayang kebijakan yang mengancam.
- Prevalensi Merajalela, Hukum Tumpul: Tingginya jumlah perokok, terutama perokok anak, bukan karena keringnya aturan. Melainkan kelemahan penegakan hukum yang menjadi biang keladi.
- Cukai Tinggi, Rokok Ilegal Bersemi: Kenaikan cukai rokok justru mendorong konsumen memeluk rokok ilegal. Ini merugikan negara dan industri legal.
- Orkestra Kebijakan yang Pincang: Kebijakan dibuat tanpa koordinasi antar kementerian yang harmonis. Ini mengabaikan simfoni dampak ekonomi dan sosial.
Renungan Kebijakan Rokok: Antara Bayang dan Realita
- Bukan Aturan Kurang, Tapi Roh Regulator Lengah: Di balik tumpukan aturan, tersembunyi kegagalan regulator. Menambah peraturan baru hanyalah ilusi jika pondasi penegakan tak kokoh. Ini cermin pentingnya integritas dalam tata kelola.
- Dilema Abadi: Cuan versus Kesehatan: Industri rokok, penyumbang cukai terbesar dan penopang jutaan hidup, menciptakan dilema pahit. Kebijakan haruslah sebuah tarian anggun antara kesehatan dan ekonomi. Jangan sampai satu langkah menginjak yang lain. Apalagi melahirkan monster rokok ilegal yang baru.
- Cukai Tinggi, Bisikan Rokok Ilegal yang Menggoda: Tarif cukai rokok yang melambung seharusnya menjadi penjaga gerbang. Namun, tanpa penegakan hukum yang tegas, ia justru membuka pintu bagi rokok ilegal. Sebuah ironi yang menggerus pendapatan cukai negara dan mengaburkan upaya kesehatan masyarakat.
- Mengubah Rupa, Tak Mengubah Jiwa: Kemasan yang berganti rupa tak akan serta-merta mengubah kebiasaan merokok yang telah berakar dalam sanubari. Edukasi, program berhenti, dan penegakan hukum yang gigih adalah trisula yang lebih ampuh.
- Simfoni Koordinasi yang Terlupakan: Kritik terhadap sumbatan koordinasi antar kementerian adalah nyanyian tentang pentingnya orkestrasi lintas sektor. Masalah rokok, bagai benang kusut yang terjalin erat antara kesehatan, ekonomi, sosial, dan hukum, menuntut tangan-tangan yang berkoordinasi. Bukan berjalan sendiri-sendiri.
- Petani Tembakau, Sisi Lain Sekeping Koin: Di tengah hingar-bingar perdebatan, petani tembakau berdiri sebagai saksi. “Farming kontrak” menopang hidup mereka. Setiap kebijakan harus merangkul nasib jutaan jiwa yang menggantungkan harap pada industri ini. Agar tak menciptakan badai sosial ekonomi yang baru.
- Suara Influencer: Bisikan Harapan di Tengah Asap: Kisah sang pembicara, yang memilih meninggalkan kepulan asap demi memberi teladan, adalah bukti bahwa edukasi bukan hanya tugas pemerintah. Ia adalah bisikan harapan yang menular, membentuk perilaku, terutama di antara anak muda, bagai pelita kecil di tengah kegelapan.