Berita Budaya Sosial
Beranda » Mustika » Pacu Jalur Viral: Menguak Sejarah dan Makna di Balik Tradisi Riau

Pacu Jalur Viral: Menguak Sejarah dan Makna di Balik Tradisi Riau

Mustikatimes.com- Belakangan ini, Pacu Jalur jadi obrolan hangat di media sosial, semua gara-gara video viral seorang bocah yang asyik menari di atas perahu. Nah, di balik kehebohan itu, ternyata sejarah dan makna pacu jalur punya arti yang mendalam dalam tradisi bangsa kita.

Sejarah dan Makna Pacu Jalur Asal Riau

Kemenpar.go.id menyebut, Pacu Jalur adalah lomba mendayung tradisional yang masyarakat gelar setiap tahun di Kuantan Singingi (Kuansing), Riau.

Kompetisi pacu jalur ini menggunakan perahu yang terbuat dari kayu gelondongan atau kayu utuh tanpa sambungan. Masyarakat Riau menyebut perahu dari kayu utuh seperti ini sebagai ‘jalur’. Jadi, dari segi bahasa, pacu jalur berarti lomba adu cepat antara perahu yang terbuat dari kayu utuh.

Jika kita lihat dari sejarahnya, pacu jalur merupakan tradisi turun temurun yang leluhur masyarakat Kuansing wariskan.

Mendunia! Buku Mahasiswa Cendekia Kota Tangerang Terdaftar di Perpustakaan Nasional Australia

Dulu, di abad ke-17 Masehi, masyarakat menggunakan perahu jalur sebagai alat transportasi di sepanjang aliran Sungai Kuantan.

Awalnya, mereka membuat jalur sederhana, karena fokus utamanya adalah fungsi transportasi air. Pasalnya, alat transportasi darat belum semaju sekarang. Namun, seiring waktu, perahu jalur makin berkembang, baik dari segi bentuk hingga tampilannya.

Perkembangan inilah yang kemudian memunculkan ide lomba adu cepat antara perahu jalur.

Sekretaris Umum DPD IMM DKI Jakarta Ucapkan Selamat atas Pelantikan Dr. Dahnil Anzar Simanjuntak sebagai Wakil Menteri Haji dan Umrah

Masyarakat awalnya mengadakan lomba pacu jalur untuk memeriahkan hari besar keagamaan di Riau, seperti Hari Raya Idulfitri. Lalu, saat masa penjajahan Belanda, mereka bahkan menjadikan lomba pacu jalur sebagai acara merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina setiap tanggal 31 Agustus hingga 2 September.

Lebih dari Sekadar Lomba: Filosofi di Balik Pacu Jalur

Menariknya, selain berfungsi sebagai alat transportasi, perahu jalur membawa makna filosofis yang mendalam. Ini mencakup proses pembuatannya, gerakan tari saat pacu jalur berlangsung, hingga proses mendayung jalur dan tugas setiap orang di perahu tersebut.

Pembuatan perahu jalur tidak boleh sembarangan. Masyarakat yang ingin menebang pohon untuk membuat jalur harus melakukan ritual terlebih dahulu. Tujuannya, meminta izin kepada pemilik hutan belantara bahwa mereka akan menebang dan membuat perahu dari salah satu pohonnya.

IATPI Selenggarakan Pelatihan SNI ISO/IEC 17024:2012 untuk Perkuat Kapasitas LSP Teknik Lingkungan

Setelah selesai dibuat, jalur bisa menampung 50-60 orang penumpang, yang biasa disebut anak pacu.

Kemudian, saat perahu jalur sudah jadi dan siap ikut pacu, beberapa anak pacu akan mendapat tugas penting. Tujuannya agar proses mendayung berjalan lancar dan mereka bisa keluar sebagai pemenang.

Mereka antara lain:

  • Tukang Concang: Pemberi aba-aba.
  • Tukang Pinggang: Juru kemudi.
  • Tukang Onjai: Pemberi irama dengan gerakan badan.
  • Anak Coki: Penari yang biasanya adalah anak-anak, posisinya di bagian terdepan perahu.

Uniknya, anak-anak hampir selalu mengisi posisi penari ini. Alasannya, tubuh anak-anak ringan. Dengan demikian, perahu jalur bisa tetap melaju cepat meskipun si Anak Coki sedang menari di depan perahu.

Mereka tidak hanya asal menari, ternyata setiap gerakan Anak Coki di atas perahu punya makna berbeda.

Misalnya, bila perahu jalur yang mereka kendarai unggul dari perahu lain, Anak Coki akan menari gembira. Dan setelah sampai di garis finis, Anak Coki akan melakukan sujud syukur di ujung perahu.

Keunikan tradisi ini, yang masyarakat Kuansing, Riau, jaga selama ratusan tahun, menjadikan Festival Pacu Jalur destinasi wisata yang banyak orang nantikan setiap tahunnya.

Apalagi kini, setelah viral di media sosial, makin banyak lagi orang yang penasaran ingin tahu sejarah dan makna pacu jalur.

Kita semua punya tugas melestarikan tradisi ini dan mencegah pihak lain mengklaimnya. Setuju, kan?

Artikel Terkait