Blora, mustikatimes.com – Bicara tentang Blora, bukan sekadar menyoal tata kota atau pernak-pernik administratif lainnya. Blora adalah cerita tentang budaya masyarakat, rasa, dan romansa yang tumbuh di tengah segala keterbatasan.
Terlalu rumit rasanya jika kita mengurai Blora dari segi geografis atau politik. Karena di balik itu semua, Blora memiliki nuansa yang tak bisa disebut “biasa saja”. Sebut saja Sego Pecel atau nasi pecel.
Sebagian orang mungkin akan berkomentar, “Yaelah, nasi pecel mah di mana-mana juga ada.” Pendapat itu wajar, dan memang sah. Namun, jika kita bicara Sego Pecel khas Blora, eksistensinya memang tidak begitu mencolok atau istilah kekiniannya, “B aja.”

Nasi pecel lengkap. Nasi di atas pincuk daun jati. Foto : ist/mustikatimes.com
Tapi justru di situ letak menariknya. Blora bukan sekadar soal identitas kuliner. Lebih dari itu Nasi Pecel seperti hal tak terpisahkan bagi masyarakat yang tinggal di daerah yang lokasinya diperbatasan antara provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Hampir dapat dipastikan, setiap memulai hari di kala pagi, masyarakat di Blora hampir semua menjalani budaya sarapan. Dan warung-warung rumahan (UMKM) menjajakan menu makanan yang sama. “Iya” hampir semua warung menjual Nasi Pecel.
Ciri khas yang menjadi identitas nasi pecel Blora adalah bungkusnya yang menggunakan daun jati. Bukan sekadar kemasan, daun jati justru menambah cita rasa dan menjadi elemen yang ikonik sekaligus autentik.
Soal rasa? Penulis percaya, tak ada kalimat yang cukup untuk mengejawantahkan kenikmatan itu. Bukan bermaksud berlebihan, hanya saja tidak semua rasa bisa dijelaskan lewat tulisan.
Lebih dari itu, hidangan sarapan seperti nasi pecel tak bisa dijadikan tolok ukur status sosial masyarakat, baik di kota maupun di desa.
Sekali lagi, nasi pecel bukan satu-satunya makanan khas Blora. Tapi di pagi hari, semua lapisan masyarakat bisa dengan mudah menemukannya di setiap warung di Blora.

Rela berangkat pagi dari rumah dinas untuk sarapan sego pecel langsung di Pawon Mbah Minah Rabu pagi (10/5/2023). Foto : Istimewa/mustikatimes.com
Bahkan, Bupati Blora pun kerap mengunggah foto dirinya sedang menikmati sarapan nasi pecel di warung sederhana sekitar kota. Ini semacam simbol, bahwa kesederhanaan dan keseharian punya tempat dalam narasi kemajuan Blora itu sendiri.
Blora memang tak seterkenal Jepara, apalagi Surakarta. Tak seberkembang Purwodadi. Secara ekonomi, pertumbuhannya bisa dibilang “ya gitu-gitu aja” jika dilihat dari kacamata nasional. Soal infrastruktur dan fasilitas? Ngelus dada.
Padahal, Blora punya sumber daya alam yang tak perlu panjang lebar dijelaskan orang sudah tahu betapa kaya alamya.
Tapi yang bisa dibanggakan dari Blora adalah masyarakatnya. Mereka tak menunggu daerahnya maju dengan infrastruktur megah. Mereka sudah merasa cukup dan bahagia dengan apa yang ada.
Blora, dengan slogan “Blora Mustika”, tak menuntut banyak dari keadaan. Lha wong kondisi seperti sekarang saja sudah bisa bikin mereka bahagia kenapa harus menunggu menjadi daerah yang serba wah? Mungkin masyarakat Blora lebih memilih menikmati daripada menuntut.
Pada akhirnya, tulisan ini bukan hanya tentang makanan, bukan pula soal pemerintahan atau kritik sosial. Tapi tentang jarak. Jarak antara hak dan kewajiban. Jarak antara cita-cita dan kenyataan. Jarak antara pengetahuan dan perbaikan. Tapi di Blora, apakah masih ada jarak antara kemarin dan hari ini?