Ekonomi & Bisnis
Beranda » Mustika » Polemik ‘Impor BBM Satu Pintu’ Bahlil dan Hubungan dengan Danantara: Ancaman Persaingan Usaha Sehat

Polemik ‘Impor BBM Satu Pintu’ Bahlil dan Hubungan dengan Danantara: Ancaman Persaingan Usaha Sehat

JAKARTA, Mustikatimes.com – Kebijakan yang mewajibkan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) asing seperti Shell, BP, dan Vivo untuk mengimpor Bahan Bakar Minyak (BBM) melalui Pertamina telah memicu polemik besar di kalangan pelaku usaha dan publik. Meskipun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia telah menegaskan skema ini hanya bersifat sementara hingga akhir tahun 2025 dan bukan “impor BBM satu pintu” permanen, kebijakan ini telanjur menimbulkan dampak serius, mulai dari kekosongan stok, ancaman monopoli, hingga potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Di balik keriuhan ini, muncul kecurigaan bahwa kebijakan pro-BUMN ini memiliki keterkaitan erat dengan kebutuhan finansial Badan Pengelola Investasi dan Daya Anagata Nusantara, atau yang disingkat Danantara.

Kekhawatiran Praktik Monopoli dan Isu Kualitas Produk

PT Arta Boga Cemerlang Hiring: MERCHANDISER (MD) Penempatan Bojonegoro

Masalah utama dari kebijakan ini terletak pada dua hal krusial:

  1. Monopoli Harga: Keharusan membeli dari Pertamina membuat SPBU swasta tidak bisa lagi melakukan impor langsung (direct import). Hal ini dikhawatirkan membuat harga pokok BBM untuk Shell, BP, dan Vivo menjadi lebih tinggi, sehingga sulit bersaing di pasar.
  2. Perbedaan Standar Produk: SPBU asing seperti Shell dikenal memiliki standar produk yang berbeda, misalnya menghindari campuran seperti etanol yang dimiliki oleh BBM Pertamina (walaupun campuran etanol Pertamina masih di bawah batas aman yang diizinkan pemerintah). Jika mereka dipaksa membeli dari Pertamina, kualitas dan karakteristik produk andalan mereka akan berubah, yang berpotensi ditinggalkan oleh konsumen loyal.

Akibatnya, sejumlah SPBU asing mengalami kesulitan stok, yang telah memicu isu penutupan gerai dan PHK karyawan. Situasi ini dinilai mencederai iklim investasi dan persaingan usaha yang sehat.

Danantara dan Konsekuensi Logis ‘Menguatkan BUMN’

đź”§ Loker Teknik: Engineering Operational Store di Mie Gacoan (Penempatan Jawa Tengah)

Kecurigaan keterkaitan dengan Danantara muncul dari pemahaman atas fungsi utama lembaga ini. Danantara didirikan sebagai pengelola investasi yang mengkonsolidasikan aset dan menampung dividen dari sejumlah BUMN besar, termasuk Pertamina. Tujuannya adalah untuk memutar kembali dana tersebut menjadi investasi yang menguntungkan bagi negara, layaknya Sovereign Wealth Fund (SWF).

Namun, ada konsekuensi logis yang mengkhawatirkan:

  • Kebutuhan Dividen: Agar Danantara sukses dan mampu berinvestasi, BUMN di bawahnya harus memiliki kinerja yang sangat baik dan menyetor dividen tinggi.
  • Kebijakan Pro-BUMN: Demi mencapai target dividen tersebut, muncul kekhawatiran bahwa pemerintah akan membuat kebijakan-kebijakan yang secara implisit atau eksplisit akan memenangkan BUMN di pasar domestik, meskipun harus mengorbankan kompetitor swasta.

“Ini jadi sinyal buruk untuk kompetitornya BUMN,” ujar sejumlah pengamat. Dengan kata lain, demi keuntungan BUMN (Pertamina) agar dividennya naik dan bisa dikelola Danantara untuk kepentingan negara, persaingan usaha yang sehat harus dikorbankan.

🍎 Loker Ahli Gizi: Gabung di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Yayasan Al Amanah

Ancaman Terhadap Iklim Investasi

Jika praktik “memenangkan BUMN” ini terus terjadi dan meluas ke industri lain, dampaknya bagi Indonesia bisa sangat buruk:

  • Memburuknya Citra Bisnis: Investor asing yang ingin menanamkan modal akan berpikir dua kali jika melihat pemerintah cenderung memonopoli pasar demi keuntungan BUMN. Mereka akan merasa persaingan tidak adil, bahkan jika kebijakan tersebut tidak melanggar hukum secara formal.
  • Target Pertumbuhan Ekonomi Terancam: Pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi tinggi, yang sangat bergantung pada investasi asing dan domestik. Jika iklim bisnis dinilai tidak sehat, investasi akan seret, dan target pertumbuhan pun sulit tercapai.

Meskipun Rosan Roeslani, CEO Danantara, menekankan bahwa fokus utama lembaga ini adalah pada governance dan tata kelola yang transparan, kebijakan Bahlil terhadap impor BBM Pertamina justru menimbulkan pertanyaan besar mengenai implementasi good governance di level operasional BUMN dan bagaimana pemerintah menyeimbangkan kepentingan negara (national interest) dengan persaingan pasar yang adil.

Saat ini, pembicaraan antara pemerintah, Pertamina, dan SPBU swasta masih berlangsung. Pihak seperti Shell dikabarkan masih menolak membeli dari Pertamina karena belum adanya kejelasan mengenai jaminan kualitas produk yang sesuai standar mereka. Polemik ini menjadi ujian penting bagi pemerintahan saat ini dalam menunjukkan komitmennya terhadap persaingan usaha yang sehat dan iklim investasi yang terbuka.

Artikel Terkait