Berita Opini Suara Warga
Beranda » Mustika » Membingkai Kebebasan Berpendapat dalam Kampanye Publik

Membingkai Kebebasan Berpendapat dalam Kampanye Publik

spanduk 'Blora Cinta Damai' yang membentang dari ujung ke ujung kota Blora

BLORA, MUSTIKATIMES.COM – Kampanye publik yang diluncurkan oleh pemerintah seringkali bertujuan untuk mempromosikan nilai-nilai positif, seperti persatuan, toleransi, atau dalam kasus ini, perdamaian. Namun, di tengah masyarakat yang dinamis, inisiatif semacam ini terkadang memicu diskusi dan pertanyaan mengenai ruang yang tersedia bagi kebebasan berpendapat, terutama yang bersifat kritis terhadap kebijakan atau kondisi sosial.

Tujuan Baik vs. Potensi Interpretasi

Kampanye seperti “Blora Cinta Damai” secara resmi mungkin dimaksudkan untuk mendorong kohesi sosial dan menghindari konflik. Pemerintah daerah, dalam hal ini Dinas Sosial Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, mungkin melihatnya sebagai cara untuk menciptakan lingkungan yang harmonis, aman, dan kondusif bagi semua warga, termasuk kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak. Dari sudut pandang ini, kampanye tersebut adalah upaya proaktif untuk membangun masyarakat yang lebih baik.

Namun, dalam konteks politik, slogan “cinta damai” bisa menimbulkan interpretasi lain. Ada pandangan yang mengkhawatirkan bahwa istilah “damai” dapat disalahgunakan untuk menekan ekspresi yang tidak sejalan dengan narasi pemerintah. Protes, demonstrasi, atau kritik yang konstruktif—yang merupakan bagian vital dari proses demokrasi—dapat dicap sebagai tindakan “anti-damai” atau “mengganggu ketertiban umum.” Jika hal ini terjadi, kampanye yang seharusnya bertujuan baik justru bisa menjadi alat untuk membatasi kebebasan sipil.

Ferry Irwandi Tak Jadi Dikasuskan, Fathian Hafiz Ungkap Makna Berani Sesungguhnya

Membedakan Damai dan Pembungkaman

Penting untuk membedakan antara “perdamaian” yang sejati dengan “ketenangan” yang dipaksakan. Perdamaian yang sejati tumbuh dari dialog terbuka, di mana semua pihak, termasuk yang berbeda pendapat, memiliki hak untuk didengar. Ini adalah perdamaian yang inklusif, bukan perdamaian yang dicapai dengan cara membungkam suara-suara minoritas atau oposisi.

Sebaliknya, jika kampanye “cinta damai” digunakan sebagai alasan untuk melarang unjuk rasa atau menindak warga yang menyampaikan aspirasi secara sah, maka ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak asasi manusia untuk kebebasan berekspresi dan berkumpul. Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28E, menjamin hak setiap warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Membatasi hak-hak ini tanpa dasar hukum yang kuat dapat merusak fondasi demokrasi.

Kesimpulan: Mencari Keseimbangan

Upaya pemerintah untuk menciptakan perdamaian dan ketertiban adalah hal yang wajar. Namun, upaya tersebut harus dilakukan tanpa mengorbankan hak-hak fundamental warga negara. Kampanye publik, seideal apa pun tujuannya, harus selalu ditempatkan dalam kerangka hukum dan etika demokrasi. Masyarakat memiliki peran penting untuk terus memantau dan memastikan bahwa slogan-slogan perdamaian tidak digunakan sebagai tameng untuk menutupi pembatasan kebebasan berpendapat. Dialog, transparansi, dan penghormatan terhadap hak-hak sipil adalah kunci untuk menciptakan perdamaian yang berkelanjutan dan bermakna.

Lowongan Kerja Editor Konten Media Sosial di Kongzada

Artikel Terkait