Berita Mancanegara Wawasan & Edukasi
Beranda » Mustika » Paradoks Demokrasi: Antara Cita-Cita dan Realitas

Paradoks Demokrasi: Antara Cita-Cita dan Realitas

MUSTIKATIMES.COM – Demokrasi sering dianggap sebagai sistem pemerintahan terbaik di dunia. Prinsip “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” yang dicetuskan oleh Abraham Lincoln menjadi landasan utama. Dengan memberikan kekuasaan kepada masyarakat, demokrasi dianggap mampu mengakomodasi beragam kepentingan dan aspirasi. Namun, apakah demokrasi selalu seindah teorinya?

Faktanya, demokrasi memiliki sisi gelap yang sering disebut paradoks. Sejarah mencatat beberapa contoh kegagalan yang menunjukkan bahwa sistem ini rentan disalahgunakan. Misalnya, kemenangan Vladimir Putin di Rusia, Donald Trump di Amerika Serikat, atau bahkan yang paling klasik, Partai Nazi yang dipimpin Adolf Hitler di Jerman pada 1932. Mereka semua terpilih melalui pemilu, sebuah mekanisme inti dalam demokrasi, namun kemudian kekuasaan mereka membawa hasil yang kontroversial.

Keraguan Para Filsuf Sejak Dulu

Ternyata, kekhawatiran ini bukan hal baru. Para filsuf sejak era Yunani kuno sudah meragukan demokrasi.

Kota Tangerang Borong Tujuh Penghargaan Bergengsi di BAZNAS Awards 2025

  • Plato, misalnya, menganggap demokrasi bukanlah sistem ideal. Ia berpendapat bahwa demokrasi justru membuka jalan bagi seorang tiran untuk berkuasa. Masyarakat cenderung terpolarisasi antara kaya dan miskin, terdidik dan terbelakang. Dalam sistem ini, kelompok kuat bisa memanipulasi suara kelompok lemah untuk kepentingan mereka.
  • Socrates membandingkan negara Athena dengan sebuah kapal besar yang pemiliknya kuat tapi buta dan tidak bisa menavigasi. Para pelaut (rakyat) berebut menjadi kapten tanpa memiliki keahlian. Socrates khawatir bahwa dalam demokrasi, kekuasaan berada di tangan “tirani mayoritas” di mana opini, emosi, dan prasangka populer lebih diutamakan daripada akal dan kebijaksanaan. Ia menyebut pemimpin yang mengandalkan janji palsu dan karisma sebagai demagog. Socrates juga menekankan bahwa memberikan suara adalah keterampilan yang harus diajarkan, bukan sekadar intuisi. Kekhawatirannya terbukti saat ia sendiri dihukum mati oleh juri yang terdiri dari 500 warga Athena.
  • Jason Brennan, seorang pengajar ilmu politik, dalam bukunya Against Democracy, juga mengkritik demokrasi modern. Ia membagi warga negara menjadi tiga kategori:
    1. Hobbit: Orang yang apatis dan minim pengetahuan politik.
    2. Hooligan: Orang yang antusias tapi fanatik pada pilihan politiknya.
    3. Vulcan: Orang yang rasional dan membuat keputusan berdasarkan alasan ilmiah.

    Brennan berpendapat bahwa kualitas demokrasi sangat ditentukan oleh sedikitnya kaum Vulcan, sementara kebanyakan pemilih adalah Hobbit atau Hooligan. Dengan prinsip one man one vote, kualitas hasil pemilu akan ditentukan oleh suara yang kurang teredukasi. Ia mengusulkan sistem epistokrasi, di mana hanya mereka yang melek politik yang berhak memilih.

Demokrasi dan Kesejahteraan: Hubungan yang Kompleks

Demokrasi idealnya menjamin kesejahteraan dan kesetaraan. Namun, dalam praktiknya, sistem ini sering kali dimanipulasi untuk melayani kepentingan elit.

Dalam konteks sejarah, demokrasi modern berkembang sebagai cara untuk melindungi kepentingan properti elit dari ancaman penguasa atau massa. Alexander Hamilton, salah satu pendiri AS, sudah mengingatkan tentang “kelebihan dari demokrasi murni” dan perlunya melindungi kelompok minoritas dari tirani mayoritas.

Di banyak negara berkembang, rezim otoriter birokratik menganggap demokrasi sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi. Demokrasi dianggap mengganggu stabilitas karena memungkinkan mobilisasi politik dari kelas bawah, yang dianggap sebagai ancaman oleh kalangan elit dan kelas menengah atas.

‘K-Pop Demon Hunters’ Jadi Fenomena, Kalahkan ‘Weapons’ di Box Office dan Netflix

Demokrasi di Indonesia: Sekadar Sirkulasi Elit?

Bagaimana dengan Indonesia? Ben Anderson menyebut mekanisme politik kita sebagai “electoral pluralisme borjuis,” bukan demokrasi yang sesungguhnya. Hak untuk memilih sering kali hanya menjadi ajang persaingan elit. Partai politik menjadi semacam perusahaan, di mana jabatan strategis diperjualbelikan, dan keputusan ditentukan oleh segelintir ketua.

Sirkulasi elit-elit lama yang terus berputar di lingkaran kekuasaan menjadi pemandangan yang lazim. Oligarki, sebagai aliansi cair konglomerat, beradaptasi dengan sistem apa pun, baik otoritarian maupun demokrasi, untuk melanggengkan kepentingan mereka.

Mencari Jalan Keluar

Meskipun memiliki banyak cacat, mengapa demokrasi tetap diperjuangkan?

CORTIS: Terobosan Baru dari BIGHIT MUSIC, Boyband yang Melawan Batasan

Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa perubahan menuju masyarakat yang lebih baik harus dimulai dengan keterbukaan terhadap realitas. Kritik terhadap demokrasi harus dilihat sebagai upaya membangun, bukan meruntuhkan.

Demokrasi yang hakiki harus lebih dari sekadar pemilu dan pergantian kekuasaan. Ia harus memberikan hak kepada setiap warga negara untuk menentukan masa depan mereka. Untuk itu, partisipasi masyarakat sipil harus diperkuat. Ketika masyarakat mampu menjadi kekuatan terorganisir yang mengancam posisi politik elit, barulah demokrasi dapat menjamin kesetaraan dan kesejahteraan umum.

Demokrasi tidak akan menjadi demokratis dengan sendirinya. “Politik keseharian” (everyday life politic) di luar partai dan pemilu harus menjadi arena tempat nilai-nilai, sikap, dan kepentingan berproses. Hanya dengan cara ini, kita bisa keluar dari labirin paradoks demokrasi dan mewujudkan cita-cita kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

Artikel Terkait