Pati, Mustikatimes.com — Seolah tak ada habisnya, Indonesia kembali dihebohkan oleh gejolak di daerah. Kali ini, sorotan tajam mengarah ke Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Bukan karena keindahan alam atau prestasi, melainkan karena gelombang unjuk rasa besar-besaran yang terjadi sepanjang Agustus 2025. Apa yang sebenarnya memicu kemarahan publik di kota ini?
Pada pandangan pertama, banyak yang menduga kerusuhan ini disebabkan oleh kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang mencapai 250%. Namun, jika ditelisik lebih dalam, masalahnya ternyata jauh lebih kompleks daripada sekadar angka.
Lebih dari Sekadar Tarif Pajak
Menurut seorang pengamat, akar masalahnya bukanlah kenaikan PBB itu sendiri, melainkan arogansi yang ditunjukkan oleh pejabat publik. Memang, penyesuaian tarif PBB setelah belasan tahun tidak berubah adalah hal yang wajar dan perlu untuk meningkatkan pendapatan daerah. Namun, cara pemerintah daerah mengomunikasikannya kepada masyarakat yang menjadi pemicu utama.
Kenaikan tarif PBB ini ternyata tidak berlaku secara merata. Persentase kenaikan PBB yang dikenakan bergantung pada persentase kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di setiap wilayah. Uniknya, daerah yang NJOP-nya naik sedikit justru dikenakan persentase PBB yang lebih tinggi, sementara daerah elit dengan kenaikan NJOP yang besar dikenakan persentase PBB yang lebih kecil. Namun, secara nominal, nilai yang dibayarkan oleh warga elit tetap jauh lebih besar. Kebijakan ini, meski secara hitungan terlihat adil, gagal dipahami oleh publik.
Sebagai simulasi, jika NJOP tanah Anda pada tahun 2024 adalah Rp100.000 per meter, dan naik menjadi Rp350.000 per meter di tahun 2025 (naik 250%), tarif PBB yang dikenakan bisa naik hingga lima kali lipat. Ini tentu sangat memberatkan.
Arogansi Pejabat yang Memicu Badai
Ketika masyarakat Pati mencoba menyuarakan keberatan mereka melalui demo, respons dari Bupati Pati justru memicu amarah yang lebih besar. Bukannya merangkul dan berdialog, ia justru menantang balik para pendemo.
“Siapa yang akan melakukan penolakan… silakan lakukan. Jangan hanya 5.000 orang, 50.000 orang aja suruh ngerahkan. Saya tidak akan gentar. Saya tidak akan merubah keputusan,” ucap sang bupati.
Pernyataan ini seperti menuangkan bensin ke api yang sudah menyala. Tantangan tersebut dijawab oleh lebih dari 100.000 warga Pati yang turun ke jalan, jauh melampaui perkiraan. Gejolak ini membuat sang bupati akhirnya mencabut regulasi tersebut. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Masalahnya bukan lagi pada aturan, melainkan pada arogansi yang terlanjur melukai hati rakyat.
Tiga Skenario Masa Depan
Dengan situasi yang semakin runyam, ada tiga skenario yang mungkin dihadapi oleh Bupati Pati:
- Bertahan: Ia tetap menjabat, tetapi ini bisa mencoreng nama baiknya, partainya (Gerindra), dan institusi tempat ia bekerja. Sinyal dari elite partai dan Presiden Prabowo Subianto sudah terlihat, di mana mereka menyayangkan kejadian tersebut dan tidak memberikan dukungan penuh.
- Dimakzulkan: Jika ini terjadi, karier politiknya akan tamat. Pemakzulan oleh DPRD dengan dukungan rakyat adalah aib terbesar dalam dunia politik. Tidak ada jalan kembali.
- Mengundurkan Diri: Ini adalah opsi paling rasional. Mundur secara terhormat dapat meminimalisir kerusakan reputasi dan membuka peluang untuk kembali di masa depan. Kesalahannya dianggap sebagai kekhilafan dalam manajemen publik, bukan kasus korupsi atau asusila. Langkah ini bisa menyelamatkan karier politiknya, menjaga reputasi keluarga, dan meredakan gejolak di masyarakat.
Pilihan apa pun yang diambil oleh Bupati Pati akan menjadi pelajaran penting bagi para pejabat publik di seluruh Indonesia. Arogansi adalah musuh utama dalam kepemimpinan, dan komunikasi yang buruk bisa menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Apa pendapat Anda tentang krisis di Pati ini? Apakah keputusan mundur adalah langkah terbaik yang bisa diambil?