Motamasin, Nusa Tenggara Timur, Mustikatimes.com – Menjelang peringatan 80 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, kondisi wilayah perbatasan masih memprihatinkan. Alih-alih menjadi etalase kebanggaan bangsa, daerah-daerah ini justru seperti halaman belakang yang terabaikan. Masalah infrastruktur, minimnya akses pendidikan dan kesehatan, hingga maraknya kasus perdagangan manusia (TPPO) menunjukkan potret buram di tapal batas negeri.
Padahal, wilayah perbatasan adalah cerminan wajah bangsa. Jika perbatasan terkesan kumuh dan tidak terurus, bagaimana negara lain bisa percaya dengan kemajuan yang ada di pusat?
Infrastruktur Ambruk di Perbatasan Timor Leste
Di perbatasan Indonesia dan Timor Leste, tepatnya di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Motamasin, Nusa Tenggara Timur, masalah infrastruktur masih menjadi tantangan utama. Angelbertus Klau, Kepala PLBN Motamasin, mengungkapkan bahwa kondisi jalan yang menghubungkan PLBN ke Kota Betun dan ibu kota NTT masih rusak parah.
Selain itu, pasokan listrik di sekitar PLBN sering padam, menghambat pelayanan publik yang sangat bergantung pada internet, seperti keimigrasian dan bea cukai. Jaringan internet juga masih tidak stabil, membuat masyarakat sulit beraktivitas, bahkan untuk hal sederhana seperti bermain game online.
Kondisi infrastruktur yang buruk ini tidak hanya menghambat pelayanan, tetapi juga mematikan roda ekonomi. Investor enggan menanamkan modal, padahal potensi ekonomi di Motamasin sangat besar, seperti perkebunan pisang dan jambu mete yang sebenarnya bisa dikembangkan lebih luas.
Perbatasan Malaysia: Anak-anak dalam Bahaya
Kondisi serupa, bahkan lebih serius, terjadi di perbatasan Indonesia-Malaysia. Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), anak-anak di perbatasan Kalimantan Utara, khususnya Kota Tarakan dan Kabupaten Nunukan, terancam menjadi korban TPPO, eksploitasi seksual, dan kehilangan akses pendidikan dan kesehatan.
Jalur ilegal sering digunakan untuk menyelundupkan pekerja migran tanpa dokumen, termasuk anak-anak yang menyusul orang tua mereka. Minimnya pemahaman masyarakat soal TPPO dan pengawasan yang longgar di pelabuhan memperburuk keadaan. Data Polda Kaltara menunjukkan bahwa pada tahun 2024, ada 419 korban TPPO yang berhasil diselamatkan.
Selain itu, anak-anak pekerja migran di Sabah dan Sarawak, Malaysia, juga kesulitan mendapatkan akses sekolah dan layanan kesehatan. Kurangnya kerja sama resmi antara Indonesia dan Malaysia menjadi penyebab utama. Akibatnya, banyak anak mengalami stunting dan masa depan mereka terancam.
Perlindungan Anak Bukan Sekadar Slogan
Ketua KPAI, Ai Mariati Shihah, menegaskan bahwa perlindungan anak di perbatasan adalah tanggung jawab negara. Kehadiran negara tidak bisa hanya sebatas spanduk atau kunjungan seremonial, tetapi harus nyata dalam bentuk perbaikan infrastruktur, penegakan hukum, dan penyediaan layanan dasar.
Anak-anak adalah masa depan bangsa. Mereka bukan objek pameran untuk mencari pengakuan dari negara tetangga. Permasalahan di perbatasan ini menunjukkan bahwa kemerdekaan sejati belum sepenuhnya dirasakan oleh semua warga.
Merawat perbatasan berarti lebih dari sekadar membangun batas fisik. Itu adalah komitmen untuk membangun masyarakat yang kuat, aman, dan sejahtera di setiap sudut negeri, agar seluruh rakyat dapat merasakan semangat kemerdekaan yang nyata.