Beranda » Mustika » Ironi di Pandeglang: Musik Dilarang, Sampah Disambut

Ironi di Pandeglang: Musik Dilarang, Sampah Disambut

Pandeglang, mustikatimes.com— Sebuah ironi mencolok tengah terjadi di Pandeglang. Di satu sisi, pemerintah daerah sebelumnya melarang konser musik dan berbagai bentuk hiburan publik dengan alasan menjaga moral masyarakat. Di sisi lain, kini pemerintah justru membuka pintu bagi masuknya sampah dari luar wilayah tanpa penolakan berarti.

Aktivis lingkungan dan kebudayaan, Riva Firdaus, menyoroti kebijakan tersebut dengan tajam. Dalam pernyataannya, Riva menyebut fenomena ini sebagai “Konser Diharamkan, Sampah Dihalalkan” sebuah potret menyedihkan dari realitas kebijakan yang tidak berpihak pada logika sehat maupun keberlanjutan lingkungan.

“Dulu, dentuman musik mereka anggap biang kerusakan moral. Tapi kini, mereka dengan tenang mengimpor sampah dari kota lain. Tak ada yang menyebutnya haram atau merusak moral. Inilah ironi yang penguasa tetapkan dari mimbar kuasa,” ujar Riva.

PC IMM Blora Gelar Darul Arqom Dasar (DAD) di SMK Muhammadiyah 2 Cepu

Antara Moralitas dan Kepentingan Ekonomi

Dalam beberapa tahun terakhir, Pandeglang menolak keras konser musik. Argumen moral dan budaya kerap menjadi dasar larangan. Panggung-panggung hiburan pemerintah tutup, suara gitar mereka bungkam, dan ruang ekspresi seni menjadi kerdil. Mereka melakukan semua itu atas nama “keteraturan sosial”.

Namun, kini muncul kebijakan yang justru dinilai jauh lebih berisiko: pengelolaan sampah lintas wilayah. Tanpa transparansi menyeluruh kepada publik, pemerintah mendatangkan sampah dari luar daerah ke Pandeglang dengan dalih kerja sama regional dan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

“Tak ada konser yang mencemari tanah, tak ada gitar yang menumbuhkan gunungan limbah. Tapi hari ini, kita lebih menerima bau plastik terbakar daripada suara musik yang meriah. Di mana logikanya?” tambah Riva.

Desa Gedebeg Blora Sambut Hangat Mahasiswa KKN STAI Muhammadiyah

Ironi Pembangunan dan Hilangnya Nurani

Fenomena ini tidak hanya mencerminkan kebijakan yang kontradiktif, tetapi juga menggambarkan kegagalan dalam menempatkan keberpihakan kepada masyarakat dan lingkungan. Kebijakan yang membatasi ruang budaya, namun membuka keran impor sampah, menunjukkan keberpihakan yang keliru.

“Jika musik mereka anggap dosa, lalu sampah ini apa namanya? Pahala? Logika pembangunan yang menyisihkan nalar dan nurani sedang menyeret kita,” tegasnya.

Pandeglang, Di Antara Dua Jalan

Pertanyaannya kini: apakah kebijakan-kebijakan ini membangkitkan Pandeglang, atau justru mengorbankannya atas nama ambisi yang tidak berpihak pada rakyat?

Emil Audero Resmi Dipinjamkan ke Klub Promosi Serie A Cremonese

Penolakan terhadap konser dan penerimaan atas pengelolaan sampah dari luar daerah menjadi simbol kontradiksi besar. Ini bukan hanya soal moral, tetapi juga soal arah pembangunan dan penghormatan terhadap nilai-nilai kehidupan, budaya, dan lingkungan.

Riva pun menutup pernyataannya dengan pertanyaan reflektif:

“Apakah mereka melindungi rakyat, atau rakyat menjadi pagar hidup dari kepentingan yang tak pernah bernama rakyat?”

Pandeglang memiliki potensi budaya dan pariwisata yang besar. Kebijakan daerah seharusnya selaras dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, bukan menjadi ladang kontradiksi yang mengorbankan ruang hidup, nurani, dan kreativitas masyarakat.

Artikel Terkait