Beranda » Mustika » Kredit Usaha Rakyat Alami Masalah: Kok Bisa Data Pribadi Bocor?

Kredit Usaha Rakyat Alami Masalah: Kok Bisa Data Pribadi Bocor?

Mustikatimes.com- Duh, ada kabar enggak enak lagi nih soal Kredit Usaha Rakyat (KUR) fiktif. Pelaku enggak cuma korupsi, tapi juga nekat menyalahgunakan data pribadi warga. Yang bikin miris, kali ini mereka menyasar para lansia!

Kok bisa ya data pribadi warga, apalagi yang sudah sepuh, jadi korban kejahatan begini? Yuk, kita bongkar tuntas kasusnya.

Kredit Fiktif Terbongkar: Lansia Jadi Korban di Bondowoso

Kasus kredit fiktif ini mulai tercium publik pada 19 September 2024. Waktu itu, beberapa korban, didampingi pengacara Nurul Jamal Habaib, ramai-ramai menggelar aksi damai di depan kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Bondowoso.

Mereka datang bukan tanpa alasan. Para lansia ini mendesak aparat hukum mengusut tuntas dugaan penyalahgunaan data pribadi mereka. Bayangkan saja, tiba-tiba mereka punya utang di bank padahal enggak pernah merasa mengajukan! Pengacara menyebut nilai pinjamannya bervariasi, mulai dari Rp50 juta sampai ada yang fantastis, yaitu Rp600 juta!

Klub Liga Italia Serie A Como 1907 Luncurkan Jersi Kandang Musim 2025/2026 Desain Didit Prabowo

Dari Bank ke Dukcapil: Siapa Saja yang Terlibat?

Enggak lama, di Oktober 2024, Kejari Bondowoso langsung bergerak cepat. Mereka menetapkan dua tersangka awal: YA, kepala unit bank, dan RAN, seorang mantri. Ternyata, RAN memalsukan semua dokumen pengajuan kredit, termasuk agunan, sebelum menyerahkannya ke YA untuk persetujuan.

Sembilan bulan kemudian, tepatnya medio Juli 2025, Kejari Bondowoso kembali bikin gebrakan. Mereka menetapkan dan menahan dua tersangka baru: AK, operator kependudukan di Dispendukcapil Bondowoso, dan AS, mantri bank plat merah yang bertugas di Unit Tapen.

AK dan AS diduga kuat aktif mengurus pinjaman fiktif bareng RAN, yang saat itu sudah jadi terpidana. AS dikabarkan menerima Rp400 juta hingga Rp500 juta dari RAN. Sedangkan AK, ia meraup Rp43 juta hasil “menjual” 86 data kependudukan warga. Setiap data laku Rp500 ribu!

Yang lebih bikin geleng-geleng kepala, Kepala Kejaksaan Negeri Bondowoso, Dzakiyul Fikri, seperti dilansir Berita Jatim, Rabu (15/7/2025), bilang: “Dari 86 pengajuan, 20 di antaranya ternyata sudah meninggal. Bahkan ada lansia yang tidak tahu-menahu tiba-tiba ditagih utang.”

Flash Sale Point Coffee di ShopeeFood Beli 1 Gratis 1 Plus Diskon Hingga 50%

Total kerugian negara akibat praktik busuk ini ditaksir mencapai Rp5,3 miliar. AK dan AS kini menghadapi ancaman hukuman penjara minimal 4 tahun hingga maksimal 20 tahun. Serem, kan?

Kasus Kredit Fiktif Terus Berulang: Ada Apa dengan Sistem Kita?

Kasus kredit fiktif begini jelas bukan yang pertama kali. Harusnya, kejadian ini jadi alarm keras buat perbaikan mekanisme kredit di perbankan. Apalagi, pelakunya seringkali orang dalam atau mantan karyawan instansi itu sendiri.

Contoh lain, awal Juli 2025 lalu, Polres Sukoharjo juga membongkar kasus tipikor pengajuan KUR fiktif di salah satu bank BUMN di wilayah Kartasura. Tersangkanya? Mantan mantri alias petugas pemasaran kredit di bank tersebut!

Tersangka menggunakan modus licik: ia mengajukan kredit fiktif, kredit topengan (memakai nama orang lain tapi ia menguasai uangnya), dan kredit tempilan dengan data palsu.

Harga Emas Antam Naik Rp19.000, Kini Sentuh Rp1.946.000 per Gram

Di Sukoharjo, total ada 56 pengajuan kredit bermasalah gara-gara si tersangka ini. Audit BPKP Jawa Tengah menemukan kerugian negara mencapai Rp1 miliar.

Sorotan ke SDM Perbankan: Sistem Ketat, Pelaku Tetap Bobol

Praktisi perbankan Agus Wibowo menilai maraknya kasus kredit fiktif ini menunjukkan masalah serius pada Sumber Daya Manusia (SDM) perbankan. Kata beliau, sistem sebagus dan seketat apa pun bisa bobol kalau pelaksana dan pelaksanaannya lemah.

Maka dari itu, SDM perbankan harus banget memperbaiki diri. Agus menerangkan Sekaligus, kita juga perlu terus me-review dan menyesuaikan sistem serta regulasi.

“Semua prosedur pengajuan kredit perbankan itu kan sebenarnya sudah rigid ya, sudah kaku sebenarnya dari OJK. Nah, jadi kalau umpamanya mengajukan kredit itu kan bank harus memverifikasi yang pertama fisik atau data-data yang tercantum di KTP-nya, kemudian kan harus cross-check ke Dukcapil, kemudian ditambah lagi SLIK [Sistem Layanan Informasi Keuangan], SLIK-nya OJK ya,” jelasnya lewat telepon, Senin (21/7/2025).

Agus melanjutkan, sistem yang ketat itu bakal sia-sia kalau ada “orang dalam” yang nakal. Ambil contoh persyaratan pengajuan KUR di BTN. Bank plat merah itu merinci kalau calon debitur KUR harus punya NIK dan enggak masuk daftar hitam BI atau macet.

“Misalnya nih, ada katakanlah Bapak A atau Ibu A. Bapak A secara usia maupun lokasi tempat tinggal ya mungkin tidak sesuai profil pengajuan kredit. Tapi, kalau orang dalamnya menyetujui orang dalam bank nih ya, ya tetap lolos. Karena, pemutus kredit terakhir itu kan manusia juga,” jelas Agus.

Mencegah Kecurangan: Peran Teknologi dan Edukasi Anti-Fraud

Makanya, Agus mendorong bank-bank untuk segera mengembangkan sistem yang bisa meminimalisir kesalahan manusia atau kecurangan. Contohnya, mereka bisa memanfaatkan sistem berbasis kecerdasan buatan (AI). “Nah, sekarang bagaimana internal bank mengatur manusia tersebut edukasinya bagaimana. Itu kan harus rutin antifraud-nya diajarkan,” tambah Agus.

Menurut Agus, hal lain yang enggak kalah penting adalah data kependudukan warga yang sudah meninggal. Dukcapil harusnya memastikan data itu sudah terhapus supaya tidak ada yang menyalahgunakannya. SLIK juga mestinya tidak lagi memuat data orang yang sudah meninggal.

“Tapi, kok bisa lolos gitu loh. Nah, ini kan dalemnya nih, pemain-pemain orang dalam. Tujuannya di mana-mana pasti untuk mencari uang ya, menghimpun dana. Entah dana itu buat apa nanti nih. Harus ditelusuri lebih lanjut,” ungkapnya.

Kalau kebanyakan kasus melibatkan karyawan bank atau ASN, berarti sektor itulah yang harus diperbaiki. Penting banget untuk rutin mengajarkan tentang bahaya fraud dan bagaimana hal ini bisa mengarah ke korupsi.

Tata Kelola Data Pribadi: PR Besar Pemerintah!

Evaluasi enggak cuma harus terjadi di lingkungan perbankan, tapi juga di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil). Kenapa? Karena Dukcapil ini pegang kendali besar atas data-data kita semua.

Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Parasurama A.T. Pamungkas atau akrab disapa Rama, bilang kalau keterlibatan ASN Dispendukcapil dalam kasus kredit fiktif di Bondowoso ini menunjukkan betapa rentannya tata kelola data lansia. Apa yang mereka lakukan itu jelas melanggar hukum, apalagi kalau memang sengaja memanfaatkan data untuk kepentingan pribadi.

“Perbuatan yang dilakukan oleh ASN ini adalah perbuatan melawan hukum sebenarnya. Karena, dia bisa saja melanggar hak-hak subjek data, bisa saja dia melanggar dasar hukum pemrosesan data, bisa saja dia melanggar peraturan-peraturan undang-undang lain,” kata Rama kepada jurnalis Tirto, Senin (21/7/2025).

Ingat, Pasal 20 Ayat (1) UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) menyebut bahwa pengendali data pribadi wajib punya dasar pemrosesan data, termasuk persetujuan eksplisit dari pemilik data untuk tujuan tertentu.

Rama menilai, menjadikan prinsip tata kelola data pribadi sebagai prioritas utama di sektor publik masih jadi tantangan. Jadi, Dukcapil harus berbenah biar enggak lagi gagal melindungi data pribadi yang ujung-ujungnya merugikan publik.

“Pembenahan dari sisi internal juga dilakukan. Misalnya, dengan membuat kebijakan privasi. Kemudian, memastikan adanya data protection officer atau petugas perlindungan data pribadi. Kemudian, juga melakukan perekaman hingga akhirnya, misalnya, melakukan data protection impact assessment. Itu dari sisi internal,” lanjut Rama.

Selain itu, penegakan hukum untuk setiap pelanggaran perlindungan data pribadi juga mesti ditegakkan secara adil. Enggak cuma soal pidana, tapi juga sanksi administratifnya.

“Karena dari sekian banyak kegagalan perlindungan data pribadi yang melibatkan sektor publik, tidak ada satu pun yang terujung pada sanksi yang dikeluarkan oleh, misalnya dalam situasi sekarang, oleh Komdigi. Tidak ada satu pun yang berakhir pada sanksi. Nah, ketidaan sanksi itu kan menunjukkan bahwa sering kali penegakan hukum berat sebelah,” kata Rama.

Singkatnya, besarnya otoritas lembaga pemerintah terhadap data kita harus banget diimbangi dengan tata kelola yang baik. Kalau enggak, ya kasus-kasus seperti ini bisa terus terulang.

Artikel Terkait