mustikatimes.com – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS yang berlangsung di Brasil pada Minggu (6/7/2025) menjadi pusat perhatian setelah Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Tiongkok Xi Jinping dipastikan tidak hadir.
Ketidakhadiran kedua pemimpin kunci ini memicu perdebatan mengenai masa depan dan nilai-nilai ideologis BRICS, terutama pasca-ekspansi keanggotaan dalam dua tahun terakhir.
Menurut laporan The Guardian, absennya Xi Jinping menimbulkan banyak pertanyaan besar. Pasalnya, Xi hampir selalu menghadiri pertemuan BRICS selama lebih dari satu dekade terakhir. Sebagai gantinya, Tiongkok mengutus Perdana Menteri Li Qiang untuk hadir di forum tersebut. Hingga kini, Beijing belum memberikan alasan resmi terkait ketidakhadiran presiden mereka.
Sementara itu, absennya Vladimir Putin dikaitkan dengan status hukumnya di kancah internasional. Ia menjadi subjek surat perintah penangkapan dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) atas dugaan keterlibatannya dalam penculikan anak-anak Ukraina selama invasi.
Meskipun Brasil adalah negara penandatangan Statuta Roma, yang mewajibkan penahanan individu yang dicari ICC, pemerintah setempat belum secara tegas menyatakan akan menahan Putin jika ia hadir. Untuk menghindari risiko diplomatik, Putin memilih untuk tidak datang ke Rio de Janeiro. Ini bukan kali pertama Putin juga melewatkan pertemuan BRICS, di Afrika Selatan tahun lalu dengan alasan serupa, di mana Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa tidak bisa menjamin kekebalan diplomatik baginya.
Ekspansi BRICS dan Tantangan Ideologis
BRICS, yang awalnya dibentuk sebagai blok kekuatan baru negara-negara berkembang terdiri dari Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan telah mengalami perluasan signifikan sejak tahun lalu.
Sejumlah negara baru seperti Indonesia, Iran, Ethiopia, Mesir, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi kini telah bergabung. Ekspansi ini mengubah BRICS menjadi forum yang jauh lebih besar dan beragam, baik dari segi ekonomi, politik, maupun sistem pemerintahan.
Beberapa pengamat menilai perluasan ini berpotensi melemahkan konsistensi ideologis BRICS. Dominasi negara-negara dengan sistem pemerintahan otoriter di antara anggota baru dikhawatirkan menimbulkan kegelisahan di kalangan negara anggota asli seperti India, Brasil, dan Afrika Selatan yang menganut sistem demokrasi.
Kehadiran beragam negara dengan latar belakang ekonomi dan geopolitik berbeda-beda memunculkan pertanyaan, apakah BRICS masih mampu menjaga kesatuan visi dalam membentuk tatanan global baru?
Dunia Menuju Multi-Kutub
Menanggapi dinamika global ini, Duta Besar Brasil untuk Inggris dan mantan Menteri Luar Negeri, Antonio Patriota, menyatakan bahwa BRICS hanyalah salah satu indikator bahwa dunia sedang bergerak menuju tatanan global multipolar. Artinya, tidak ada lagi satu negara yang mendominasi seperti sebelumnya.
Berbicara di Overseas Development Institute, Patriota menyoroti kebijakan luar negeri Amerika Serikat di era Donald Trump sebagai pemicu utama pergeseran geopolitik global.
“Langkah AS dalam memberlakukan tarif tinggi dan mengedepankan kedaulatan nasional justru mempercepat perubahan menuju dunia multipolar,” ujarnya.
Ia juga menyebut bahwa Eropa pun kini mulai mengambil jarak terhadap sejumlah kebijakan AS, baik dalam hal perdagangan, pertahanan, hingga demokrasi. Hal ini, menurutnya, menunjukkan bahwa poros kekuatan dunia kini mulai terpecah dan tidak lagi terkonsentrasi di satu kutub Barat saja.
Komentar