JAKARTA, MUSTIKATIMES.COM– Nama Filsafat seringkali memicu pertanyaan, bahkan miskonsepsi di kalangan masyarakat luas. Banyak orang masih penasaran: apa sebenarnya yang dipelajari dalam ilmu filsafat?
Artikel ini hadir untuk meluruskan kesalahpahaman dan menawarkan panduan mudah bagi siapa pun yang tertarik mendalami filsafat, khususnya bagi pemula.
Penulis seringkali menghadapi dua pertanyaan umum saat bertemu orang baru. Pertama, mengapa seorang pria bernama Dea (ini akan kita bahas lain kali).
Kedua, dan yang paling relevan, banyak orang bertanya tentang materi perkuliahan filsafat. Bahkan, seorang paman pernah menelepon penulis untuk menanyakan soal telepati, percaya bahwa filsafat membahas hal-hal mistis. Miskonsepsi inilah yang mendorong video ini.
Belakangan, filsafat menjadi istilah populer di media sosial, terutama berkat buku-buku seperti “Dunia Sophie” dan “Filosofi Teras”.
Popularitas ini membuat banyak orang mengenal filsafat. Sebagai seseorang yang mendalami filsafat secara akademis, penulis ingin berbagi cara belajar filsafat yang mudah dan tidak membuat overwhelmed, bahkan bisa Anda lakukan sendiri di rumah.
Pendekatan Belajar Filsafat: Sejarah Pemikiran sebagai Awal
Ada beberapa pendekatan dalam mempelajari filsafat, namun yang paling lazim dan efektif untuk pemula adalah melihat filsafat sebagai sebuah sejarah pemikiran.
Biasanya, ini berfokus pada Filsafat Barat karena sistemnya yang sangat sistematis, memudahkan pelacakan perkembangan ide. Anda akan bergerak dari satu pemikiran filsuf ke pemikiran lainnya, mengamati perbedaan dan pengembangannya.
Buku-buku pengantar sejarah filsafat Barat, seperti karya Bertrand Russell atau Luis Katsof, sangat membantu. Buku-buku ini memberikan gambaran umum yang menarik.
Anda akan diperkenalkan dengan filsuf pra-Sokratik dari zaman kuno, lalu perkembangan pemikiran Sokrates, Plato, dan Aristoteles, hingga era modern.
Setelah Anda familiar dengan nama-nama dan ide-ide mereka, Anda akan mulai mengenali istilah-istilah yang lebih spesifik: cabang-cabang filsafat.
Mengenal Cabang-Cabang Filsafat: Dari Realitas Hingga Penalaran
Dalam filsafat, kita mengenal cabang umum dan cabang khusus.
Cabang Umum Filsafat:
- Metafisika atau Ontologi: Membahas realitas. Pertanyaannya: Apa itu realitas? Apakah nyata atau ilusi? Apakah realitas ada dengan sendirinya atau bergantung pada persepsi manusia?
- Epistemologi: Berkaitan dengan pengetahuan. Ini menyelidiki bagaimana kita tahu bahwa hal yang kita ketahui itu benar.
- Aksiologi: Terdiri dari Etika dan Estetika.
- Etika: Membahas konsep baik dan buruk.
- Estetika: Mengkaji keindahan. Pertanyaannya: Apa yang disebut indah? Apakah ada keindahan objektif? Bagaimana merumuskan nilai keindahan yang universal?
- Logika: Penting untuk mempelajari penalaran. Logika membantu kita memeriksa apakah sebuah argumen masuk akal (sound). Berbagai kesalahan berpikir (fallacy) seringkali terjadi karena melanggar prinsip-prinsip logika.
Cabang Khusus Filsafat:
Cabang-cabang ini biasanya sangat spesifik pada topik tertentu. Contohnya:
- Filsafat Hukum: Membahas nilai keadilan, kemungkinan kodifikasi keadilan dalam hukum formal, dan apakah hukum harus selalu ditaati.
- Filsafat Manusia: Mengkaji esensi manusia. Pertanyaannya: Apa itu manusia? Apakah manusia sama dengan makhluk lain? Jika berbeda, apa perbedaannya?
Mendengar semua definisi ini mungkin terasa banyak. Namun, dengan mendekati filsafat sebagai sejarah pemikiran, Anda akan menerima informasi ini dalam potongan-potongan kecil yang mudah dicerna.
Anda bisa menemukan berbagai kajian filsafat dari berbagai cabang dalam diri seorang filsuf yang Anda pelajari.
Petualangan Memahami Filsuf dan Perkembangan Pemikiran
Setelah memahami peta besar filsafat, Anda akan menemukan filsuf yang menarik perhatian Anda. Misalnya, pada abad ke-18, filsuf George Berkeley mengatakan bahwa kenyataan tidak ada di luar persepsi manusia, yang ia rangkum dalam ungkapan terkenal “Esse est percipi” (ada adalah dipersepsi).
Namun, pandangan ini tidak lepas dari kritik. Thomas Reid, filsuf sezaman, mengkritik dan menyatakan bahwa benda-benda di luar kita ada secara independen, tidak tergantung pada persepsi.
Di era yang sama, ada juga filsuf terkenal lainnya, David Hume, seorang empirisis. Ia menekankan pentingnya penginderaan.
Hume setuju bahwa persepsi manusia ikut membentuk realitas, namun ia juga skeptis apakah segala sesuatu tidak ada tanpa persepsi kita.
Ia menunjukkan alur perbedaan dan kritik yang sambung-menyambung antar pemikir. Ini membantu kita memahami konteks pemikiran seorang filsuf dan bagaimana ide mereka memengaruhi pemikir selanjutnya.
Meskipun awalnya filsafat terasa membingungkan dan absurd, dengan pendekatan ini, Anda akan menyadari bahwa ini adalah dunia yang menyenangkan dan layak diseriusi.
Belajar Filsafat vs. Berfilsafat: Nikmati Perjalanan Anda
Perlu diingat, ada perbedaan antara mempelajari pemikiran orang lain (belajar filsafat) dan berusaha merumuskan pemikiran sendiri (berfilsafat).
Yang kedua ini memerlukan pembahasan lebih lanjut, mengingat perkembangannya sudah sangat pesat dengan banyak cabang dan pemikir baru yang tidak lagi hanya berpegang pada teori-teori klasik.
Pesan utama bagi para pemula: nikmati prosesnya, jangan terburu-buru, dan pelan-pelan saja. Carilah hal yang menyenangkan dan temukan filsuf yang Anda suka.
Setelah Anda menemukan minat khusus, Anda bisa berkonsentrasi mendalami pemikiran tersebut.
Penulis, misalnya, selama kuliah berkonsentrasi pada filsuf abad ke-19, Arthur Schopenhauer. Mendalami Schopenhauer secara otomatis mendorong penulis untuk membaca pemikir yang memengaruhinya, seperti David Hume dan Immanuel Kant, serta pemikir setelahnya seperti Nietzsche.
Bahkan, ini juga menghubungkan penulis dengan psikoanalis Sigmund Freud yang juga terpengaruh Schopenhauer.
Harapannya, petualangan Anda dalam membaca filsafat akan berujung pada tokoh atau pemikiran yang Anda suka dan ingin kaji lebih mendalam.
Mitos Filsafat yang Keliru: Santai Saja!
Tidak semua orang yang belajar filsafat terlihat “aneh” atau “sok tahu”. Ada banyak variasi individu. Jika ada stereotip bahwa orang belajar filsafat itu menyebalkan, sok tahu, atau selalu serius, percayalah, tidak semuanya begitu.
Banyak orang yang secara formal terlatih dalam filsafat justru santai dalam kehidupan sehari-hari. Mereka bisa diajak bicara soal financial planning atau bahkan resep masakan. Jadi, tidak semuanya “alien” (meskipun ada beberapa, mungkin).
Ada juga stereotip bahwa belajar filsafat bisa membuat gila. Memang ada yang menjadi gila karena belajar filsafat, tetapi secara statistik, kemungkinan besar lebih banyak orang yang mengalami gangguan mental karena masalah lain.
Penulis pernah melakukan riset di sebuah rumah sakit jiwa di Yogyakarta dan menemukan tiga pasien yang mengalami gangguan mental karena tidak dibelikan motor, bukan karena filsafat. Jadi, jangan khawatir berlebihan!
Komentar