mustukatimes.com- Minat Baca di antara riuhnya jemari yang menari di atas layar dengan diksi. Sebuah ironi pilu tersembunyi: minat baca Indonesia masih terdampar di dasar jurang. Bayangkan, wahai para pembaca budiman, pada tahun 2016, Central Connecticut State University merilis studi “Most Literate Nation In The World.”
Studi ini menunjukkan: Indonesia terdampar di peringkat ke-60 dari 61 negara. UNESCO bahkan membisikkan angka yang lebih menyayat hati: hanya 0.001 orang Indonesia yang tersentuh pesona aksara.
Kita, negeri bahari yang gagah, justru terperangkap di bawah Botswana, mendekam di urutan kedua terbawah. Sungguh, ini jerit hati yang tak terbantahkan. Ibarat sebatang lilin di tengah badai, dari seribu pengikut setiamu di dunia maya, mungkin hanya sehelai bayangan yang sudi menyingkap lembaran buku.
Smartphone: Gerbang Hiburan, Bukan Lentera Ilmu
Namun, jemari-jemari lincah ini justru mengukir rekor gemilang di belantika digital. Indonesia, sebuah raksasa maya, menempati peringkat kelima tertinggi di jagat internet. Bahkan, Jakarta, kota yang tak pernah tidur, menjelma kancah ocehan Twitter. Setiap detik melahirkan lima belas kicauan.
Lalu, lebih dari enam puluh juta jiwa bersemayam dengan gawai di genggaman. Ini menjadikan Indonesia salah satu empunya ponsel pintar terbanyak di bumi. Sayangnya, frekuensi berinternet yang melesat tinggi ini lebih sering menjadi panggung sandiwara hiburan dan tawa riang, bukan taman saripati ilmu.
Pesohor Dunia Maya: Mahkota Sensasi dan Singgasana Eksistensi
Tak heran, kita pun mengarak parade pesohor media sosial yang jumlah pengikutnya menembus batas nalar. Ambil contoh, Ayu Ting Ting. Ia seorang bidadari Instagram dengan belasan juta pengikut. Namanya bersanding gagah dalam daftar seratus teratas dunia.
Ia bahkan mengungguli gaung nama Britney Spears dan One Direction. Para pengikut mencari sensasi dan eksistensi diri. Di bawah panji idola, mereka seolah diizinkan meluapkan cerewetnya. Mereka sigap merespons dan tak segan mengkritik.
Akibatnya, tak sedikit pula yang kemudian memilih jalan ini. Mereka sekadar menjadi penguasa sementara panggung media sosial.
Dari Podium Penguasa ke Mimbar Semua Rasa
Dahulu kala, hanya suara-suara terpilih yang berhak melantunkan pengaruh. Mereka adalah para politikus dengan jubah kebijaksanaan, seniman dengan sentuhan jiwa, dan pesohor hiburan dengan aura magisnya. Mereka meniti jalan berliku, menempuh ujian tak terperi.
Akhirnya, suara mereka menggema dan diakui. Ironisnya, kini setiap hati merasa memiliki gema dan ingin diakui. Cukuplah berbekal ponsel pintar dan sepercik sensasi. Maka, jika Dewi Fortuna berpihak, mereka bisa menjelma fenomena di cakrawala internet.
Jika belum seberuntung itu, ada lorong lain untuk eksis. Misalnya, melalui komentar sinis yang menusuk, kritik pedas yang membakar, atau sekadar menjelma polisi moral, tekun menasihati para pesohor maya. Pilihan terhampar, tinggal kita yang memilih.
Cermin Diri di Hadapan Layar: Apa Pilihanmu?
Namun, pada akhirnya, semua kembali pada kita. Ini tentang detak jantung yang bersemayam dalam dada. Dengan ponsel pintar yang begitu perkasa dan akses internet secepat kilat dalam genggaman: Apakah kita puas hanya menjadi pesohor maya yang semu?
Ataukah kita rela menjalani hidup di media sosial dengan hati yang sinis, lidah yang mencaci, dan pikiran yang terjerat debat kusir tak berujung?
Atau, mungkin, kita hanya ingin terlihat keren, cerdas, dan berisi, padahal di baliknya kosong melompong?
Silakan renungkan, wahai para pemilik gawai. Pada intinya, semua kembali pada diri kita. Ini adalah cermin yang terpantul dari layar, dan pilihan yang akan kita genggam erat.
Komentar