mustikatimes.com– Setiap helaan napas penonton yang terpukau, setiap sorak sorai yang menggemuruh, semuanya mengukir sebuah kisah. Film animasi Jumbo berhasil menembus rekor 10 juta penonton.
Ini bukan sekadar perayaan sinema.
Lebih dari itu, kami memuja setiap goresan tangan animator, ketelitian modeler, imajinasi desainer karakter, kejeniusan seniman storyboard, mata tajam visual development artist, telinga audio engineer, dan ratusan jiwa lain yang merangkai keindahan di balik layar Animasi Jumbo.
Namun, di tengah pesta pora dukungan industri lokal, sebuah bisikan sering tenggelam: tentang denyut nadi pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) dan skillset yang menjadi tulang punggungnya.
Memahami Ekosistem Talenta: Angka Bicara, Jiwa Mengeluh
Obrolan panas soal akuisisi GoTo oleh Grab beberapa waktu lalu memicu renungan ini. Banyak pihak mengurai benang kusutnya dari kacamata makroekonomi dan industri.
Namun, mari perkecil lensa, arahkan pandangan pada jantung persoalan: pengembangan SDM dan skillset di rimba teknologi. Seringkali, saat kata “pengembangan SDM” terucap, pikiran kita langsung melayang ke bangku sekolah, gedung kampus, atau pelatihan formal. Seolah, ilmu itu air yang mengalir dari hulu ke hilir.
Tapi, sejarah membisikkan kisah berbeda. Pendidikan dan pelatihan, skill apa pun itu, sejatinya lahir dari rahim kebutuhan, dari demand yang mengaum di peradaban.
Ambil contoh sederhana: di Mesir Kuno, pemerintah membutuhkan juru tulis ulung untuk mencatat panen, mengelola pajak, dan menata akuntansi. Karena itu, mereka menciptakan pendidikan formal untuk keahlian tertentu.
Singkatnya, pendidikan formal tercipta dari wujud demand akan sebuah skill di lapangan. Pola ini, nyatanya, masih mengalir dalam darah pasar kerja kita hingga kini. Ada tarian abadi antara supply dan demand SDM.
Ketika demand akan skill A muncul, itu seolah memanggil lahirnya pelatihan dan kursus skill A. Kemudian, seiring bertambahnya yang menguasai skill A, industri yang membutuhkan itu kian mekar. Pada akhirnya, industri gemilang itu makin mendongkrak demand terhadap skill A, dan roda siklus itu terus berputar.
Sebaliknya, apa terjadi jika hanya supply yang kita paksa tumbuh? Skill-skill itu akan jadi tunas layu, tak terserap ke tanah produktivitas.
Produktivitas di sini bukan cuma bicara gemuruh mesin pabrik atau hiruk pikuk kantor, tapi juga jejak kebaikan dalam filantropi. Bayangkan, jutaan sarjana filantropi, tapi cuma segelintir lembaga nirlaba yang membutuhkan mereka.
Maka, terhamparlah ladang produktivitas yang mengering. Oleh karena itu, keseimbangan antara supply dan demand SDM adalah nafas vital bagi kesehatan ekosistem.
Ancaman Akuisisi: Mengapa GoTo Penting bagi Talenta Teknologi Indonesia?
Sekarang, mari kita bawa lentera ini pada kisah GoTo dan Grab. Saat kita meratapi minimnya supply SDM dengan skill teknologi tingkat dewa, kita harus mempertanyakan:
Apakah ekosistem kita benar-benar memeluk dan memupuk pertumbuhan SDM dengan skillset setinggi itu?
GoTo, laksana bintang kejora di langit teknologi Indonesia, adalah tiang pancang kokoh. Ia mesin yang tak cuma mendorong, tapi juga mewadahi setiap tunas skillset di dunia teknologi, dari akar hingga puncak. Maka, ketika isu akuisisi itu berhembus, dampak pada SDM kita terasa begitu nyata.
Indonesia permata dengan kekayaan sumber daya alam: emas, nikel, minyak, gas. Namun, berabad-abad, raksasa asing menguasai operasi penuh (full ops) di sektor ini. Konsekuensinya, mereka selalu mengisi posisi teknis tingkat lanjut (misalnya advanced engineering) dengan SDM dari negeri asal perusahaan itu. Pekerja lokal?
Mereka memang merekrutnya, tapi tidak pernah mengizinkan pekerja lokal capai level tertinggi, sebab raksasa juga punya SDM yang perlu mereka serap di tanah airnya. Maka, kala kendali penuh di tangan mereka, mereka memprioritaskan SDM dari negara asalnya.
Dalam kondisi ini, skillset engineering di bidang energi dan tambang pada level lebih tinggi dan kompleks jadi bak permata tak dicari, minim demand-nya bagi putra-putri bangsa.
Akibatnya, potensi-potensi gemilang di bidang itu, laksana benih tak menemukan tanah subur, sulit berkembang karena tak ada wadah maupun kesempatan bersemi.
Tragedi ini adalah risiko yang harus kita hadapi jika kita membiarkan pemain lokal di bidang teknologi lenyap. Sebab, pengembangan supply side tech talents butuh ekosistem demand side perkasa, laksana raksasa yang menaungi.
Belajar dari Kisah Animasi: Membangun “Rumah” bagi Talenta Lokal
Mari kembali ke awal, ke cerita tentang Animasi Jumbo dan angin segar bagi industri animasi. Bayangkan masa sebelum 2017, sebelum “Si Juki the Movie” mengukir sejarah dengan 642.000 penontonnya. Di era itu, banyak talenta animasi potensial mungkin tak pernah mekar.
Sebab, kala itu, “rumah produksi” animasi lokal berskala besar yang lapang untuk menyerap mereka, memberi kanvas berkarya, atau mengasah skillset itu belum ada. Animator, modeler, seniman storyboard, desainer karakter lantas, apa yang akan mereka kerjakan jika tak ada wadah?
Alur kerja yang kompleks dan berstandar profesional amat minim, sehingga tidak bisa jadi medan pertempuran bagi skillset mereka.
Tak jauh beda dengan industri teknologi. GoTo sebagai “kapal induk” tech company Indonesia bukan sekadar nama atau deretan produk.
Ia adalah laboratorium hidup, wadah paten bagi pengembangan tech talents lokal. Di sini, kita tak cuma bicara ketersediaan lapangan kerja, tapi juga skala proyek, kompleksitas ekosistem, dan sejarah 15 tahun beroperasi yang telah melahirkan ribuan tech talents serta melayani ratusan juta pengguna.
Ini lingkungan pendukung yang tak main-main bagi pertumbuhan SDM teknologi.
Mencegah Kehilangan: Peran Pemerintah dalam Menjaga Kedaulatan SDM Teknologi
Mungkin ada yang berbisik, “Ah, kalau kepemilikan di tangan asing, bukankah talenta lokal tetap bisa diserap?” Secara teori, ya, bisa saja. Namun, rekam jejak empiris sering menuturkan kisah berbeda.
Ambil contoh di bidang pertambangan: jika full ops dipegang perusahaan asing, mereka selalu memprioritaskan posisi engineering dengan advanced skills untuk SDM dari negeri asal mereka, membatasi ruang gerak SDM kita.
Faktanya, ketika pemain lokal memegang kendali penuh di skala sebesar GoTo, maka di mana-mana kita akan temukan tech talents level atas yang hampir pasti pernah mencicipi asam garam di Gojek.
Oleh karena itu, kita harus menimbang cermat dampak akuisisi GoTo oleh Grab terhadap denyut pengembangan SDM teknologi kita.
GoTo ini, bisa dibilang, adalah “the last man standing” di antara big tech yang masih beroperasi di Indonesia, gerbong terkuat menghela pengembangan tech talents lokal. Traveloka, yang juga lahir dari rahim pendiri lokal, bahkan dikabarkan akan memindahkan seluruh operasinya ke Tiongkok, yang berarti mereka mengganti insinyur di sini dengan insinyur di sana.
Jika ekosistem tech companies di sini musnah total, maka kita tak akan pernah punya SDM mumpuni di bidang ini.
Inilah kisah pilu yang terus berulang di berbagai sektor. Karena minimnya pemain lokal, atau mereka terlalu kecil, akhirnya kita tak mampu membangun SDM di bidang itu.
Ujungnya, menjadi siklus kematian industri: SDM tak ada, industri tak bisa berkembang, dan kita terpasung sebagai konsumen belaka. Gojek, misalnya, telah mengukir jejak dengan pelatihan intensif bagi talenta muda, khususnya di bidang software engineering seperti backend engineer, front-end engineer, data engineer, mobile developer, hingga product manager dan DevOps.
Mereka mampu melakukan ini karena dapat langsung menyerap talenta-talenta itu ke pusaran produktivitas, menggenapi siklus ekonomi.
Namun, setelah diakuisisi Grab, sebuah pertanyaan besar menggantung: akankah wadah semacam ini tetap ada bagi talenta lokal kita? Melihat sebaran insinyur Grab yang sudah mapan dan besar di luar Indonesia, rasanya kecil kemungkinan mereka akan terus menggarap talent pool lokal. Mengapa?
Insentif untuk mereka melakukan itu pun, jujur saja, tidak terlalu besar. Padahal, kitalah, sebagai publik di negara ini, yang paling diuntungkan dari geliat ekonomi lokal, yang paling membutuhkan itu.
Maka, di sinilah harapan kita terpatri: pada pemerintah. Akankah negara ini berani mengambil langkah di persimpangan jalan ini, atau akan pasif, membiarkan “lentera terakhir” kita di bidang ini padam?
Di awal tadi, kita sudah bahas bagaimana siklus supply-demand SDM harus terjaga demi kesehatan sebuah sistem, terutama dalam kaitannya manajemen SDM nasional.
Dari sanalah, kita paham bahwa isu akuisisi GoTo oleh Grab, sesungguhnya, bukan sekadar masalah bisnis atau industri, tapi juga cermin yang merefleksikan masa depan SDM kita.
Kita menghadapi jurang risiko: hilangnya ruang aktivitas produksi terbesar di bidang teknologi yang pernah kita miliki, yang selama ini menjadi kawah candradimuka bagi ribuan tech talents Indonesia.
Kami melihat ini momentum. Sebuah seruan agar negara mengulurkan tangan intervensi. Ada masa depan yang kita pertaruhkan di sini: mimpi anak-anak bangsa, kesempatan melesat di bidang ini, dan tentu saja nilai ekonomi industri yang mampu menabur kesejahteraan bagi banyak jiwa yang terlibat di dalamnya.
Semua itu adalah taruhan kita dalam isu ini. Jangan sampai di persimpangan ini, negara salah melangkah, dan akhirnya, untuk kesekian kalinya, kita mendapati potensi yang sia-sia (wasted potentials) dan aset yang tidak termanfaatkan (underutilized assets).